”Kawan yang baik lebih baik dari duduk
sendirian, duduk sendirian lebih baik dari kawan yang jahat,
mengutarakan kebaikan lebih baik daripada diam, dan diam lebih baik dari
berkata yang tidak baik” (Nabi Muhammad SAW).
Seorang anak ibarat kain putih kosong
dan orangtua adalah pembatiknya. Kain itu akan berubah menjadi kain yang
berharga jika pembatiknya (ortu) mau membatik dengan goresan yang indah
nan mempesona, sebaliknya kain itu akan kurang bernilai jika
pembatiknya menodai dengan goresan-goresan tak bermotif alias semrawut.
Mendidik anak merupakan pekerjaan
terpenting untuk membentuk karakter anak dan tanggung jawab orang tua.
Dalam mendidik anak diperlukan beberapa langkah/cara tepat yang dapat
mendukung terbentuknya karakter baik bagi anak. Namun, kondisi yang
terjadi di masyarakat kadang malah justru sebaliknya, kebanyakan mereka
cenderung menggunakan cara-cara ”sadis”/ semaunya sendiri, yang bisa
merampas kebebasan bereksplorasi dan membunuh karakter anak.
Beberapa kekeliruan tersebut di antaranya adalah:
1. Membuat takut anak/ membohongi
Perbuatan ini sering kita jumpai di
masyarakat. Misalnya: ”jangan nangis nak, nanti ditangkap polisi lho!”
Ucapan ini akan membekas di benak anak sehingga akan tertanam perasaan
takut pada polisi sedangkan polisi adalah pelindung/mitra masyarakat.
Contoh lain: ”kalau gak belajar, saya pukul pakai sapu”. Hal ini tentu
membuat anak selalu merasa terancam jiwanya. Anak melakukan perintah
ortu karena perasaan takutnya, bukan karena keinginan hendak menurut.
Contoh lagi: ”makan ya nak, nanti kalau gak makan didatangi mak lampir
lho!”. Sangat fatal kiranya jika masih kecil saja sudah terbiasa
dibohongi. (”Allah menyuruh untuk berbuat kebaikan dan menahan yang
salah” [QS Ali Imran: 104]).
2. Banyak menyuguhi mitos-mitos
Sangat riskan jika di era sekarang masih
ada ortu yang menyuguhkan anak-anaknya dengan mitos-mitos yang sudah
jelas tidak benar. Contohnya: ”kamu jangan suka makan kelapa (yang sudah
diparut), nanti kamu cacingan (krawiten) lho”. Sudah jelas, ucapan ini
sangat mengada-ada dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Selama ini
tidak ada buku/berita yang mengabarkan bahwa makan parutan kelapa dapat
menyebabkan cacingan. Tidak ada yang memberitakan bahwa dampak negatif
makan parutan kelapa adalah cacingan. (secara ilmiah ada di Biologi SMA
kelas X, silakan baca sendiri bab avertebrata tentang siklus hidup
cacing kremi). Contoh lain: ”kalau ada kupu2 hinggap di sebuah rumah
pertanda akan kedatangan tamu”. ”Kalau makan keselek/ kegigit, pertanda
dirinya sedang dibicarakan orang lain” (secara ilmiah ada di Biologi
kelas XI bab sistem pernapasan & pencernaan). ”Kalau matanya
bergetar2 terus, jika yang bergetar sebelah kiri pertanda akan
menyaksikan kesedihan kalau yang sebelah kanan akan menyaksikan
kebahagiaan”. Alangkah baiknya jika pemikiran nyeleneh itu segera
dibuang jauh2. (”Pergunakanlah akal dan ilmu” [QS. Yunus: Ar-Rum: 29,
An-Nahl: 43, Az-Zumar: 9).
3. Terlalu banyak larangan dan perintah tanpa teladan
Kita tidak boleh melarang anak jika
sekiranya sesuatu yang diperbuatnya itu positip (bukan negatip). Jika
keinginan anak yang positip dilarang, berarti telah menghalang-halangi
bakat mereka dan mematahkan semangatnya. Contoh: ”Sepulang sekolah harus
di rumah, tidak boleh keluar, tidak boleh main sepak bola dengan
teman2nya”. Kapan lagi mereka bisa bermain? Anak butuh beradaptasi
dengan lingkungannya. Anak juga butuh merefresh otaknya setelah berjam2
disuguhi rumus2 matematika di sekolahnya, menghafal ayat-ayat pendek
misalnya, anak juga butuh lebih banyak berinteraksi dengan teman2nya,
butuh meluapkan keinginannya. Dengan sepak bola mungkin bisa belajar
bagaimana bekerjasama dalam teamnya, bisa belajar bagaimana mengatur
strategi untuk membobol gawang team lain. Dalam penelitian terhadap
lebih dari 500 murid di Kanada, murid yang menghabiskan waktu tambahan
setiap harinya di ruang olahraga mampu mengerjakan ujian lebih baik
ketimbang mereka yang kurang aktif berolahraga. Di Scripps College
California, murid-murid yang berolahraga selama 75 menit seminggu,
ternyata bisa bereaksi lebih cepat, berpikir lebih baik dan mengingat
lebih cermat (4).
Atau kadang juga ortu terlalu banyak
perintah tanpa memberi teladan, misal: ”Tutup pintu”, ”Habiskan makan
malammu”, ”Selesaikan PR-mu”, ”Pergilah tidur”. ”Jangan merokok!”, tapi
ortu tanpa ada perasaan malu merokok di depan anaknya. Percakapan dalam
keluarga cenderung berbentuk perintah dan bukan dialog bermakna.
Kebutuhan akan keintiman, karenanya, tidak terpenuhi; dan anak-anak
seperti ini bisa merasa terasing dan sendirian secara emosional diantara
orang banyak kecuali jika mereka memiliki saudara kandung, teman sebaya
atau guru yang menyediakan keintiman yang sangat didambakan (3).
Seharusnya ortu harus mengisi dialog bermakna meskipun singkat sekaligus
menemaninya, ”Mari kerjakan PR yuk, biar nanti bisa lebih
mendalam/paham” dll.
Contoh lain: ”kamu harus masuk jurusan
kedokteran, kalau ga itu mending ga usah kuliah”. Ortu tidak boleh
memaksa anaknya harus kuliah di kedokteran kalau IQ atau daya ingat si
anak di bawah standar, karena di jurusan kedokteran akan dijumpai
ratusan bahasa ilmiah dari strukutur organ tubuh manusia. Akan sangat
merepotkan si anak nantinya. Jangan memaksakan anak untuk kuliah di
Teknik Mesin sementara dia lebih menyukai dan merasa nyaman di bidang
seni. (”Assya’bi meriwayatkan dan Nabi Muhammad SAW bersabda: Allah akan
merakhmati kepada aba yang membantu anaknya untuk berbakti taat
kepadanya. Yakni tidak menyuruh sesuatu yang dikuatirkan anak itu tak
dapat melaksanakannya” (1)).
4. Membicarakan tabiat anak di hadapan orang lain/ membanding2kannya dengan anak lain
Seorang anak akan merasa ”terhina” jika
mengetahui bahwa kesalahan-kesalahannya disiarkan kepada orang lain.
Sebaliknya, jika anak mengetahui bahwa kebaikan-kebaikannya dipamerkan
kepada orang lain maka anak akan menjadi sombong. Alangkah baiknya,
panggilah si anak untuk membicarakan kekurangan-kekurangannya tanpa
kehadiran orang lain. Dengan kekurangannya maka sekaligus dicarikan
solusi dari ortu kepada anak. Ortu tidak boleh terlalu ambisius
memamerkan kebaikan-kebaikan anaknya di hadapan orang lain apalagi dalam
suatu majelis/ orang banyak, karena hal ini akan menyebabkan orang lain
yang diajak bicara merasa sangat bosan alias boring!. Kadang bahkan
seringkali kita dapati ortu yang selalu membanding2kan anaknya dengan
anak lain. Misalnya: ”si A itu kok piala/tropinya banyak, tidak seperti
kamu kerjaannya cuma nangis”. Ucapan-ucapan ini bukannya menjadikan anak
bersemangat untuk memperbaiki, tetapi justru sangat mematahkan semangat
si anak dan anak menganggap bahwa ortu lebih sayang pada anak orang
lain, seolah si anak sungguh sangat tidak berarti bagi ortu. Sebaiknya
ortu bisa membangun kepercayaan anaknya serta menganjurkan supaya
berusaha lebih gigih.
5. Mencacimaki anak
Jikalau anak mendengar ibu bapaknya
mengatakan ”kamu jahat”, maka anak tersebut akan merasa kesal dan
cenderung pada perlakuan seorang jahat. Sebaiknya, dikatakan pada anak
itu ”kau anak yang baik” dan anak baik itu kan tidak suka marah, tidak
pernah berkelahi, rajin mengaji, dll. Alangkah baiknya ortu tidak
mengucapkan perkataan2 kotor seperti ini. ”Kamu anak tidak benar,
(tambeng, mbeling, nakal), bejat, dsb”. Kadang juga ada yang bilang
kepada anaknya: ”kamu itu mau jadi apa si?”. Tepis jauh kata2 kotor itu.
Ganti dengan kata2 yang lembut, dan lebih baik lagi jika kata itu bisa
menyentuh hati anak. Misalnya: orang baik itu dikasihi Allah lho nak,
jadi adik yang baik ya. Adik itu anak yang baik kok, jadi ga boleh
marah2 lagi ya, ga boleh suka nangis lagi. (”Sesungguhnya manusia itu
adalah makhluk etis. Jiwa (nafs) seorang itu memberinya kemampuan untuk
membedakan mana yang buruk (fujur) dan mana yang baik” [QS. As-Syams:
8]).
6. Berbicara terlalu banyak dan suara terlalu lantang
Hindarilah berbicara terlalu panjang
lebar kepada si anak. Sedikit perkataan tapi jelas dan tepat lebih
berpengaruh bagi anak daripada nasihat yang terlalu panjang lebar/
nonstop. Janganlah menyuruh atau melarang anak dengan perkataan yang
terlalu banyak sehingga membosankan anak. Dalam rumah tangga juga
sebaiknya jangan ada kata-kata yang bernada tinggi. Ucapkanlah perkataan
yang lembut yang bisa mendatangkan berkah kepada pendengarnya. Jangan
biarkan anak menyaksikan kemarahan, kebengisan, amukan ortu. Anak-anak
lebih mengingat nasihat atau kata-kata yang diucapkan tenang dan manis
daripada ucapan yang membentak-bentak. Anak yang selalu mendengar suara
lantang akan kebal dengannya sehingga suara mengguntur pun tak berarti
lagi baginya. Jadi, jangan heran jika suatu saat ada anak yang membalas
membentak dari bentakan ortunya, karena rupanya bentakan ortu yang telah
disuguhkan kepadanya telah melenyapkan sikap lemah lembut si anak.
Jangan sampai ada alasan bahwa dengan dibentak anak akan nurut, dengan
dipukul anak akan kapok, karena pada hakikatnya kekerasan/kekasaran
tidak akan menyelesaikan masalah dan bukan solusi terbaik.
(”Kecenderungan manusia untuk memandang musuh kepada sesamanya,
sebenarnya dapat diatasi dengan ”saling menasihati agar bersabar dan
saling menasihati agar saling berbelas kasihan” [QS. Al-Balad: 17]).
Demikian beberapa kekeliruan ortu dalam mendidik anaknya. Tentu masih
banyak kekeliruan2 lainnya yang bisa dijadikan bahan koreksi bagi kita
bersama. Tapi ini cukup bisa dijadikan bahan pelajaran untuk kita
sehingga bisa memperbaiki jika ada kesalahan/kekurangan, bisa melakukan
jika belum sempat dilakukan. Sebaiknya kita juga harus berpikir jernih,
kita tidak boleh beranggapan bahwa ”Ah itu kan hanya sekadar teori/
hanya buku yang bilang, tapi kan faktanya tidak/lain!”. Kebetulan
referensi yang dipakai adalah referensi yang disertai penelitian2 yang
akurat dan dapat dipertanggungjawabkan tentang kejadian2 di masyarakat
baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.