welcome to murowi.blogspot.com and try to looking at moerowi.blogspot.com : welcome to murowi.blogspot.com and try to looking at moerowi.blogspot.com : welcome to murowi.blogspot.com and try to looking at moerowi.blogspot.com : welcome to murowi.blogspot.com and try to looking at moerowi.blogspot.com

Sabtu, 15 Oktober 2011

Berperangai Ala Rasulullah


Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat menjalani kehidupan di dunia ini secara individu. Ada fitrah ketergantungan dalam diri manusia yang menyebabkan dia membutuhkan orang lain sebagai lawan interaksinya. Ada aksi darinya yang nantinya mendapat reaksi dari lawan interaksinya. Di sinilah perlu adanya tatanan yang mengatur pola interaksi antar individu sehingga aksi dan reaksi yang ada menjadi simbiosis mutualisme (hubungan yang saling menguntungkan) dan sesuai dengan yang diharapkan.
 Islam adalah agama yang kamil dan syamil. Hampir semua tatanan kehidupan ada panduan dan aturan mainnya. Jika panduan yang sudah ada diikuti dengan sebaik-baiknya maka sudah pasti akan membuahkan sesuatu yang baik. Bukan hanya kebaikan di dunia tapi juga di akhirat, dan inilah orientasi dari semua ajaran dalam Islam; di dunia baik dan di akhirat juga baik, fid-dunyâ hasanah wa fil-âkhirati hasanah.
Disinilah Islam memberikan solusi agar hubungan antar individu dalam tatanan sosial berjalan manis dan harmonis. Yaitu dengan akhlâkul karîmah, budi perangai yang mulia. Ahlakul karimah adalah garapan utama Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam  dalam keterutusannya. Beliau bersabda, “Aku diutus untuk menyempurnakan perangai yang mulia.” (HR. Ahmad dan Baihaqi).
Bagaimana Kita Ber-husnul khuluq?
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam  bersabda kepada Abu Hurairah Radhiyallâhu ‘anhu, “Wahai Abu Hurairah, selalulah engkau berperangai dengan perangai yang baik!” Abu Hurairah Radhiyallâhu ‘anhu bertanya, “Apa yang dimaksud perangai yang baik (husnul khuluk) wahai Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam ? Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam  Menjawab, “Engkau sambung tali silaturrahim kepada orang yang memutus tali silaturrahim denganmu, memaafkan orang yang berbuat zalim kepadamu, dan memberi kepada orang yang tidak mau memberimu.” (HR al-Baihaqi).
Dari Hadis itu bisa dipahami bahwa akhlakul karimah bukan hanya aksi kepada orang lain, tetapi juga mencakup bagaimana bereaksi dan merespon aksi yang diberikan orang lain. Berbuat baik bukan hanya kepada orang yang berbuat baik. Mungkin kalau semacam ini sudah biasa. Tapi akhlakul karimah adalah juga berbuat baik kepada orang yang menjahati. Jika hal ini bisa dilakukan maka lawan sekalipun akan menjadi kawan. Orang yang hatinya keras sekalipun akan luluh.  
Sejarah mencatat, dengan akhlakul karimah, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam  berhasil meluluhkan hati orang-orang Arab yang keras sehingga mau menerima Islam. Bagaimana cacian, cemoohan, lemparan batu, bahkan lemparan kotoran beliau balas dengan senyuman, tutur kata yang lembut dan juga doa untuk mereka, “Ya Allah tunjukkanlah, sesungguhnya mereka tidak tahu.” Sehingga pantas jika Allah Subhânahu wata‘âlâ memuji Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam  dengan keagungan perangainya, “Sesungguhnya kamu berada pada akhlak yang agung.” (QS. al-Qalam: 4).
 Al-Ghazali berkata bahwa perangai yang baik akan menumbuhkan rasa kasih sayang, sedangkan perangai yang jelek akan menelurkan perpecahan. Perangai yang baik akan membuahkan rasa saling mencintai, saling menyayangi, dan keserasian, sedangkan perangai yang jelek menumbuhkan perasaan saling membenci, iri dengki dan saling bermusuhan. (Ihyâ’ Ulûmiddîn juz 2 hal 141) 
Di samping itu ahlakul karimah termasuk amal yang dijanjikan balasan sangat besar di sisi Allah Subhânahu wata‘âlâ. Rasulullah bersabda, “Yang paling banyak menyebabkan manusia masuk surga adalah takwa dan budi pekerti yang mulia.” (HR at-Tirmidzi dan al-Hakim). Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam  juga bersabda: “Yang paling berat ketika diletakkan di mizan (timbangan Allah Subhânahu wata‘âlâ) kelak adalah perangai yang baik” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Tujuh Langit, Tujuh Malaikat Penjaga, dan Tujuh Amal Sang Hamba

Allah menciptakan tujuh malaikat sebelum Dia menciptakan langit dan bumi. Di setiap langit ada satu malaikat yang menjaga pintu.
Dari Ibnu Mubarak dan Khalid bin Ma'dan, mereka berkata kepada Mu'adz bin Jabal, "Mohon ceritakan kepada kami sebuah hadits yang telah Rasulullah ajarkan kepadamu, yang telah dihafal olehmu dan selalu diingat-ingatnya karena sangat kerasnya hadits tersebut dan sangat halus serta dalamnya makna ungkapannya. Hadits manakah yang engkau anggap sebagai hadits terpenting?"
Mu'adz menjawab, "Baiklah, akan aku ceritakan..." Tiba-tiba Mu'adz menangis tersedu-sedu. Lama sekali tangisannya itu, hingga beberapa saat kemudian baru terdiam. Beliau kemudian berkata, "Emh, sungguh aku rindu sekali kepada Rasulullah. Ingin sekali aku bersua kembali dengan beliau...". Kemudian Mu'adz melanjutkan:
Suatu hari ketika aku menghadap Rasulullah Saw. yang suci, saat itu beliau tengah menunggangi untanya. Nabi kemudian menyuruhku untuk turut naik bersama beliau di belakangnya. Aku pun menaiki unta tersebut di belakang beliau. Kemudian aku melihat Rasulullah menengadah ke langit dan bersabda, "Segala kesyukuran hanyalah diperuntukkan bagi Allah yang telah menetapkan kepada setiap ciptaan-Nya apa-apa yang Dia kehendaki. Wahai Mu'adz....!
Labbaik, wahai penghulu para rasul....!
Akan aku ceritakan kepadamu sebuah kisah, yang apabila engkau menjaganya baik-baik, maka hal itu akan memberikan manfaat bagimu. Namun sebaliknya, apabila engkau mengabaikannya, maka terputuslah hujjahmu di sisi Allah Azza wa Jalla....!
Wahai Mu'adz...
Sesungguhnya Allah Yang Maha Memberkati dan Mahatinggi telah menciptakan tujuh malaikat sebelum Dia menciptakan petala langit dan bumi. Pada setiap langit terdapat satu malaikat penjaga pintunya, dan menjadikan penjaga dari tiap pintu tersebut satu malaikat yang kadarnya disesuaikan dengan keagungan dari tiap tingkatan langitnya.
Suatu hari naiklah malaikat Hafadzah dengan amalan seorang hamba yang amalan tersebut memancarkan cahaya dan bersinar bagaikan matahari. Hingga sampailah amalan tersebut ke langit dunia (as-samaa'I d-dunya) yaitu sampai ke dalam jiwanya. Malaikat Hafadzah kemudian memperbanyak amal tersebut dan
mensucikannya.
Namun tatkala sampai pada pintu langit pertama, tiba-tiba malaikat penjaga pintu tersebut berkata, "Tamparlah wajah pemilik amal ini dengan amalannya tersebut!! Aku adalah pemilik ghibah... Rabb Pemeliharaku memerintahkan kepadaku untuk mencegah setiap hamba yang telah berbuat ghibah di antara manusia -membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan orang lain yang apabila orang itu mengetahuinya, dia tidak suka mendengarnya- untuk dapat melewati pintu langit pertama ini....!!"
Kemudian keesokan harinya malaikat Hafadzah naik ke langit beserta amal shalih seorang hamba lainnya. Amal tersebut bercahaya yang cahayanya terus diperbanyak oleh Hafadzah dan disucikannya, hingga akhirnya dapat menembus ke langit kedua. Namun malaikat penjaga pintu langit kedua tiba-tiba berkata, "Berhenti kalian...! Tamparlah wajah pemilik amal tersebut dengan amalannya itu! Sesungguhnya dia beramal namun dibalik amalannya itu dia menginginkan penampilan duniawi belaka ('aradla d-dunya).Rabb Pemeliharaku memerintahkan kepadaku untuk tidak membiarkan amalan si hamba yang berbuat itu melewati langit dua ini menuju langit berikutnya!" Mendengar itu semua, para malaikat pun melaknati si hamba tersebut hingga petang harinya.
Malaikat Hafadzah lainnya naik bersama amalan sang hamba yang nampak indah, yang di dalamnya terdapat shadaqah, shaum-shaumnya serta perbuatan baiknya yang melimpah. Malaikat Hafadzah pun memperbanyak amal tersebut dan mensucikannya hingga akhirnya dapat menembus langit pertama dan kedua. Namun ketika sampai di pintu langit ketiga, tiba-tiba malaikat penjaga pintu langit tersebut berkata, "Berhentilah kalian...! Tamparkanlah wajah pemilik amalan tersebut dengan amalan-amalannya itu! Aku adalah penjaga al-Kibr (sifat takabur). Rabb Pemeliharaku memerintahkan kepadaku untuk tidak membiarkan amalannya melewatiku, karena selama ini dia selalu bertakabur di hadapan manusia ketika berkumpul dalam setiap majelis pertemuan mereka...."
Malaikat Hafadzah lainnya naik ke langit demi langit dengan membawa amalan seorang hamba yang tampak berkilauan bagaikan kerlip bintang gemintang dan planet. Suaranya tampak bergema dan tasbihnya bergaung disebabkan oleh ibadah shaum, shalat, haji dan umrah, hingga tampak menembus tiga langit
pertama dan sampai ke pintu langit keempat. Namun malaikat penjaga pintu tersebut berkata, "Berhentilah kalian...! Dan tamparkan dengan amalan-amalan tersebut ke wajah pemiliknya..! Aku adalah malaikat penjaga sifat 'ujub (takjub akan keadaan jiwanya sendiri). Rabb Pemeliharaku memerintahkan kepadaku agar ridak membiarkan amalannya melewatiku hingga menembus langit sesudahku. Dia selalu memasukkan unsur 'ujub di dalam jiwanya ketika melakukan suatu perbuatan...!"
Malaikat Hafadzah lainnya naik bersama amalan seorang hamba yang diiring bagaikan iringan pengantin wanita menuju suaminya. Hingga sampailah amalan tersebut menembus langit kelima dengan amalannya yang baik berupa jihad, haji dan umrah. Amalan tersebut memiliki cahaya bagaikan sinar matahari.
Namun sesampainya di pintu langit kelima tersebut, berkatalah sang malaikat penjaga pintu, "Saya adalah pemilik sifat hasad (dengki). Dia telah berbuat dengki kepada manusia ketika mereka diberi karunia oleh Allah. Dia marah terhadap apa-apa yang telah Allah ridlai dalam ketetapan-Nya. Rabb Pemeliharaku memerintahkan aku untuk tidak membiarkan amal tersebut melewatiku menunju langit berikutnya...!"
Malaikat Hafadzah lainnya naik dengan amalan seorang hamba berupa wudlu yang sempurna, shalat yang banyak, shaum-shaumnya, haji dan umrah, hingga sampailah ke langit yang keenam. Namun malaikat penjaga pintu langit keenam berkata, 'Saya adalah pemilik ar-rahmat (kasih sayang). Tamparkanlah amalan
si hamba tersebut ke wajah pemilikinya. Dia tidak memilki sifat rahmaniah sama sekali di hadapan manusia. Dia malah merasa senang ketika melihat musibah menimpa hamba lainnya. Rabb Pemeliharaku memerintahkanku untuk tidak membiarkan amalannya melewatiku menuju langit berikutnya...!'
Naiklah malaikat Hafadzah lainnya bersama amalan seorang hamba berupa nafkah yang berlimpah, shaum, shalat, jihad dan sifat wara' (berhati-hati dalam bermal). Amalan tersebut bergemuruh bagaikan guntur dan bersinar bagaikan bagaikan kilatan petir. Namun ketika sampai pada langit yang ketujuh, berhentilah amalan tersebut di hadapan malaikat penjaga pintunya. Malaikat itu berkata, 'Saya adalah pemilik sebutan (adz-dzikru) atau sum'ah (mencintai kemasyhuran) di antara manusia. Sesungguhnya pemilik amal ini
berbuat sesuatu karena menginginkan sebutan kebaikan amal perbuatannya di dalam setiap pertemuan. Ingin disanjung di antara kawan-kawannya dan mendapatkan kehormatan di antara para pembesar. Rabb Pemeliharaku memerintahkan aku untuk tidak membiarkan amalannya menembus melewati pintu langit ini menuju langit sesudahnya. Dan setiap amal yang tidak diperuntukkan bagi Allah ta'ala secara ikhlas, maka dia telah berbuat riya', dan Allah Azza wa Jalla tidak menerima amalan seseorang yang diiringi dengan riya' tersebut....!'
Dan malaikat Hafadzah lainnya naik beserta amalan seorang hamba berupa shalat, zakat, shaum demi shaum, haji, umrah, akhlak yang berbuahkan hasanah, berdiam diri, berdzikir kepada Allah Ta'ala, maka seluruh malaikat di tujuh langit tersebut beriringan menyertainya hingga terputuslah seluruh hijab dalam menuju Allah Subhanahu. Mereka berhenti di hadapan ar-Rabb yang Keagungan-Nya (sifat Jalal-Nya) bertajalli. Dan para malaikat tersebut menyaksikan amal sang hamba itu merupakan amal shalih yang diikhlaskannya hanya bagi Allah Ta'ala.
Namun tanpa disangka Allah berfirman, 'Kalian adalah malaikat Hafadzah yang menjaga amal-amal hamba-Ku, dan Aku adalah Sang Pengawas, yang memiliki kemampuan dalam mengamati apa-apa yang ada di dalam jiwanya. Sesungguhnya dengan amalannya itu, sebenarnya dia tidak menginginkan Aku. Dia menginginkan selain Aku...! Dia tidak mengikhlaskan amalannya bagi-Ku. Dan Aku Maha Mengetahui terhadap apa yang dia inginkan dari amalannya tersebut. Laknatku bagi dia yang telah menipu makhluk lainnya dan kalian semua, namun Aku sama sekali tidak tertipu olehnya. Dan Aku adalah Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib, Yang memunculkan apa-apa yang tersimpan di dalam kalbu-kalbu. Tidak ada satu pun di hadapan-Ku yang tersembunyi, dan tidak ada yang samar di hadapan-Ku terhadap segala yang tersamar..... Pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang telah terjadi sama dengan pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang belum terjadi. Pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang telah berlalu sama dengan pengetahuan-Ku terhadap yang akan datang. Dan pengetahuan-Ku terhadap segala sesuatu yang awal sebagaimana pengetahuan-Ku terhadap segala yang akhir. Aku lebih mengetahui sesuatu yang rahasia dan tersembunyi. Bagaimana mungkin hamba-Ku menipu-Ku dengan ilmunya. Sesungguhnya dia hanyalah menipu para makhluk yang tidak memiliki pengetahuan, dan Aku Maha Mengetahui segala yang ghaib. Baginya laknat-Ku....!!
Mendengar itu semua maka berkatalah para malaikat penjaga tujuh langit beserta tiga ribu pengiringnya, 'Wahai Rabb Pemelihara kami, baginya laknat-Mu dan laknat kami. Dan berkatalah seluruh petala langit, 'Laknat Allah baginya dan laknat mereka yang melaknat buat sang hamba itu..!
Mendengar penuturan Rasulullah Saw. sedemikian rupa, tiba-tiba menangislah Mu'adz Rahimahullah, dengan isak tangisnya yang cukup keras...Lama baru terdiam kemudian dia berkata dengan lirihnya, "Wahai Rasulullah......Bagaimana bisa aku selamat dari apa-apa yang telah engkau ceritakan tadi...??"
Rasulullah bersabda, "Oleh karena itu wahai Mu'adz.....Ikutilah Nabimu di dalam sebuah keyakinan...".
Dengan suara yang bergetar Mu'adz berkata, "Engkau adalah Rasul Allah, dan aku hanyalah seorang Mu'adz bin Jabal....Bagaimana aku bisa selamat dan lolos dari itu semua...??"
Nabi yang suci bersabda, "Baiklah wahai Mu'adz, apabila engkau merasa kurang sempurna dalam melakukan semua amalanmu itu, maka cegahlah lidahmu dari ucapan ghibah dan fitnah terhadap sesama manusia, khususnya terhadap saudara-saudaramu yang sama-sama memegang Alquran. Apabila engkau hendak berbuat ghibah atau memfitnah orang lain, haruslah ingat kepada pertanggungjawaban jiwamu sendiri, sebagaimana engkau telah mengetahui bahwa dalam jiwamu pun penuh dengan aib-aib. Janganlah engkau mensucikan jiwamu dengan cara menjelek-jelekkan orang lain. Jangan angkat derajat jiwamu dengan cara menekan orang lain. Janganlah tenggelam di dalam memasuki urusan dunia sehingga hal itu dapat melupakan urusan akhiratmu. Dan janganlah engkau berbisik-bisik dengan seseorang, padahal di sebelahmu terdapat orang lain yang tidak diikutsertakan. Jangan merasa dirimu agung dan terhormat di hadapan manusia, karena hal itu akan membuat habis terputus nilai kebaikan-kebaikanmu di dunia dan akhirat. Janganlah berbuat keji di dalam majelis pertemuanmu sehingga akibatnya mereka akan menjauhimu karena buruknya akhlakmu. Janganlah engkau ungkit-ungkit kebaikanmu di hadapan orang lain. Janganlah engkau robek orang-orang dengan lidahmu yang akibatnya engkau pun akan dirobek-robek oleh anjing-anjing Jahannam, sebagaimana firman-Nya Ta'ala, "Demi yang merobek-robek dengan merobek yang sebenar-benarnya..." (QS An-Naaziyat [79]: 2) Di neraka itu, daging akan dirobek hingga mencapat tulang........
Mendengar penuturan Nabi sedemikian itu, Mu'adz kembali bertanya dengan suaranya yang semakin lirih, "Wahai Rasulullah, Siapa sebenarnya yang akan mampu melakukan itu semua....??"
"Wahai Mu'adz...! Sebenarnya apa-apa yang telah aku paparkan tadi dengan segala penjelasannya serta cara-cara menghindari bahayanya itu semua akan sangat mudah bagi dia yang dimudahkan oleh Allah Ta'ala.... Oleh karena itu cukuplah bagimu mencintai sesama manusia, sebagaimana engkau mencintai jiwamu sendiri, dan engkau membenci mereka sebagaimana jiwamu membencinya. Dengan itu semua niscaya engkau akan mampu dan selamat dalam menempuhnya.....!!"
Khalid bin Ma'dan kemudian berkata bahwa Mu'adz bin Jabal sangat sering membaca hadits tersebut sebagaimana seringnya beliau membaca Alquran, dan sering mempelajarinya serta menjaganya sebagaimana beliau mempelajari dan menjaga Alquran di dalam majelis pertemuannya.
Al-Ghazali Rahimahullah kemudian berkata, "Setelah kalian mendengar hadits yang sedemikian luhur beritanya, sedemikian besar bahayanya, atsarnya yang sungguh menggetarkan, serasa akan terbang bila hati mendengarnya serta meresahkan akal dan menyempitkan dada yang kini penuh dengan huru-hara yang mencekam. Kalian harus berlindung kepada Rabb-mu, Pemelihara Seru Sekalian Alam. Berdiam diri di ujung sebuah pintu taubat, mudah-mudahan kalbumu akan dibuka oleh Allah dengan lemah lembut, merendahkan diri dan berdoa, menjerit dan menangis semalaman. Juga di siang hari bersama orang-orang yang merendahkan diri, yang menjerit dan selalu berdoa kepada Allah Ta'ala. Sebab itu semua adalah sebuah persoalan bersar dalam hidupmu yang kalian tidak akan selamat darinya melainkan disebabkan atas pertolongan dan rahmat Allah Ta'ala semata.
Dan tidak akan bisa selamat dari tenggelamnya di lautan ini kecuali dengan hadirnya hidayah, taufiq serta inayah-Nya semata. Bangunlah kalian dari lengahnya orang-orang yang lengah. Urusan ini harus benar-benar diperhatikan oleh kalian. Lawanlah hawa nafsumu dalam tanjakan yang menakutkan ini. Mudah-mudahan kalian tidak akan celaka bersama orang-orang yang celaka. Dan mohonlah pertolongan hanya kepada Allah Ta'ala, kapan saja dan dalam kadaan bagaimanapun. Dialah yang Maha Menolong dengan sebaik-baiknya...
Wa laa haula wa laa quwwata illa billaah...

Pesona Teduh dalam Tasawuf Kaum Hawa (2); Rumahku Surgaku, Istriku Bidadariku

“Kalaupun dia tak memiliki kebutuhan biologis, tetap sangat berat baginya hidup sebatangkara di dalam rumah,” dawuh Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’ ketika berbicara mengenai bangunan rumah tangga ideal dalam pandangan syariat dan tasawuf.

Istri adalah pendamping hidup yang dianugerahi keterampilan untuk menyelesaikan banyak hal yang tidak akrab dengan jiwa suami. Misalnya, berbagai macam pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Penanggung jawab formal dari semua itu secara syariat adalah suami. Padahal, suami pada umumnya tidak memiliki keterampilan untuk menangani tugas-tugas tersebut. Kenapa demikian? Boleh jadi, agar istri punya kesempatan untuk meraih pahala besar, dengan berbakti, menjadi pembantu agama bagi suaminya.

“Dengan jalan ini, istri salehah merupakan pembantu agama (bagi suami) di rumah. Tanpa peran istri, akan banyak hal yang mengganggu hati dan membuat hidupnya menjadi serba menyesakkan.” Demikian, dawuh Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’. Terkait dengan itu, beliau mengutip pernyataan Abu Sulaiman ad-Darani, “Istri saleh tidak termasuk urusan duniawi, karena dia justru membuatmu terfokus untuk akhirat.”

Ada beberapa tokoh sufi yang memiliki istri yang juga sufi, sehingga aura akhirat bersinar sangat benderang dari atap rumah tangganya, dan nuansa duniawi nyaris berada pada titik nol. Misalnya, yang sangat terkenal dalam khasanah tasawuf, adalah pasangan Syekh Ahmad bin Abil Hawari dengan Rabiah asy-Syamiyah.

Mereka hidup di Damaskus pada awal Abad Ketiga Hijriah. Mereka sama-sama dikenal sebagai tokoh sufi. Rabiah dikenal dengan pengabdian sufistiknya terhadap sang suami. Dalam kisah-kisah pengabdian Rabiah bertebaran kilau-kilau religius yang mempesona.

Secara fisik Rabiah sering sibuk di dapur, tapi hati dan pikirannya berisi Allah. Maka, konon, saat menyuguhkan masakannya kepada sang suami, Rabiah mempersilakan dengan kalimat, “Suamiku, makanlah. Makanan ini tidaklah masak melainkan dengan kalimat tasbih.”

Rabiah sering membuatkan masakan-masakan kejantanan, lalu memberikan pakaian-pakaian yang bagus dan harum kepada Ibnu Abil Hawari. Setelah itu ia bilang, “Suamiku, sekarang datangilah istrimu yang lain. Bawalah seluruh semangat kejantananmu.”

Meski Rabiah sering bilang seperti itu, bukan berarti tak ada cinta yang bersemai di hatinya. Ia sangat mencintai Ibnu Abil Hawari, tapi bukan cinta asmara, melainkan cinta karena ikatan kebenaran. “Aku sangat mencintaimu, tapi bukan cinta istri kepada suaminya, melainkan cinta orang-orang yang saling bersaudara,” katanya kepada Ibnu Abil Hawari.

Hati dan pikiran Rabiah memang senantiasa tertuju kepada Allah. Dia tidak memiliki kepentingan duniawi atas suaminya. Ahmad bin Abil Hawari pernah bercerita: suatu ketika aku memanggil Rabiah, tapi dia tidak menjawab. Ia baru menjawab beberapa saat kemudian. Ia berkata, “Suamiku, hatiku sedang dikuasai rasa gembira dengan Allah. Akhirnya, aku tak mampu menjawab panggilanmu.” 

Jauh sebelum Ibnu Abil Hawari, ada Shilah bin Asyim, sufi masyhur dari kalangan Tabiin yang membangun rumah tangga dengan Muadzah al-Adawiyah, tokoh sufi perempuan di Basrah. Saat malam pertama, sepupu Shilah menyediakan pemandian air panas untuk mereka dan menyiapkan kamar pengantin yang indah dan harum. Tapi, yang terjadi, Shilah dan Muadzah justru melewatkan malam penting itu dengan beribadah semalam suntuk. Mereka salat hingga pagi tiba.

Mengetahui akan hal itu, sepupu Shilah sangat kecewa. Ia datang menghardiknya. Maka, Shilah bin Asyim angkat bicara, “Tadi malam engkau sediakan untukku pemandian yang membuatku mengingat neraka. Lalu, kau masukkan aku ke kamar yang membuatku mengingat surga. Maka, surga dan neraka itu memenuhi pikiranku hingga pagi.”

Dari perkawinan itu, Shilah dan Muadzah dikaruniai seorang putra. Ketika ia sudah dewasa, Shilah membawanya mengikuti sebuah perang. Mereka sama-sama gugur di sana. Mendengar hal itu, perempuan-perempuan di Basrah berdatangan ke rumah Muadzah untuk menyampaikan belasungkawa. Muadzah menyambut mereka. “Aku ucapkan selamat datang jika kalian ke sini untuk mengucapkan selamat kepadaku. Kalau bukan untuk itu, pulanglah kalian… Setelah ini, aku tidak menyukai hidup melainkan sebagai perantara untuk mendekat kepada Allah. Semoga Allah mengumpulkan aku dengan suami dan anakku di surga.”

Di barat Baghdad, tepatnya di daerah Baratsa, ada juga pasangan yang masyhur sebagai pasangan sufi, yaitu Abu Abdillah al-Baratsi dengan istrinya Jauharah al-Baratsiyah. Mereka hidup di pertengahan Abad Kedua Hijriah, semasa dengan Rabiah al-Adawiyah. Mulanya, Jauharah adalah seorang sahaya. Ketika merdeka, dia menjalani suluk di bawah bimbingan Abu Abdillah al-Baratsi. Tak lama kemudian, Abu Abdillah menikahi Jauharah. Selama menjadi istri al-Baratsi ini, Jauharah dikenal sebagai wanita sufi yang melewati hari-harinya dengan beribadah dan tafakur.

Suatu ketika, Jauharah pernah bertanya kepada suaminya, “Abu Abdillah, apa perempuan akan dihias di surga jika mereka masuk ke sana?”

“Iya,” jawab al-Baratsi.

Jauharah menjerit. Matanya melemah, ia jatuh pingsan. Saat siuman, al-Baratsi menanyainya. “Kenapa kau sampai pingsan?”

“Aku membayangkan wanita surga, dan membandingkannya dengan keadaanku di dunia. Maka, demi Allah, aku sangat takut kehilangan akhirat.”

Suatu ketika, Jauharah bermimpi melihat sebuah tenda. “Untuk siapa tenda ini?” tanya Jauharah. “Untuk orang yang bersungguh-sungguh dalam membaca al-Qur’an,” jawab orang dalam mimpi itu. Maka, sejak itu Jauharah tidak tidur malam. Sehingga, al-Baratsi pernah bercerita: Jauharah kadang membanguniku tengah malam. Ia bilang, “Suamiku, kafilah telah berlalu.”

*****

Itulah pernik kisah dalam rumah tangga ideal bagi para sufi. Sebenarnya, untuk fokus kepada Allah, tak sedikit tokoh-tokoh sufi yang memilih hidup membujang. Tapi, mereka pun mungkin akan menikah jika bisa mendapatkan istri seperti itu. Istri yang benar-benar menjadi pendukung, pemberi semangat, teman dan pembantu bagi suami agar mencurahkan seluruh waktunya untuk Allah. Istri yang membuat mereka semakin leluasa mencurahkan hati dan pikirannya untuk akhirat, seperti telah ditegaskan oleh Abu Sulaiman ad-Darani tentang istri salehah. Yâ Habbadzâh!

Sabarlah, Kau Pasti Bahagia!


Kata yang tercetak dari kata “shabr” disebutkan kurang lebih 103 kali di dalam al-Qur’an, baik berbentuk kata kerja atau bukan. Hal yang sama juga terjadi pada Hadis. Banyak sekali sabda Rasulullah yang membicarakan kesabaran. Dalam kitab Riyâdhus-Shâlihîn, Imam an-Nawawi mencantumkan 29 Hadis tentang kesabaran. Hal ini menunjukkan betapa kesabaran mendapat perhatian lebih dari Allah.

Kata “sabar” diambil dari bahasa Arab “shabr”. Pengertian sabar dan shabr dalam dua bahasa itu kurang lebih sama. Kalaupun ada perbedaan hanya menyangkut bias-bias bahasa, bukan pokok pemahamannya. Makna harfiah dari sabar berarti menahan dan mencegah. Sedangkan sabar sebagai sebuah istilah adalah menahan diri dari perasaan marah dan gundah, menahan mulut dari keluh kesah, serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah.

Al-Khawwash mengatakan, “Sabar adalah refleksi keteguhan untuk mengamalkan al-Qur’an dan sunah. Sehingga sabar tidak identik dengan kepasrahan dan ketidakmampuan. Rasulullah memerintahkan umatnya untuk sabar ketika berjihad, padahal jihad adalah memerangi musuh-musuh Allah dengan menggunakan senjata (perang).” Dalam hal ini, sabar berarti tegar dan tak ciut oleh tantangan apapun.

Pentingnya Sabar

Allah berfirman (artinya), “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan salat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS al-Baqarah [2]: 153).

Allah memuji orang-orang yang sabar dan mencintai mereka (QS al-Baqarah [2]: 177), (QS Ali Imran [3]: 146).

Rasulullah menyatakan bahwa kesabaran merupakan dhiyâ’ (cahaya yang terang) dan merupakan anugerah terbaik Allah. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Kesabaran merupakan ciri orang yang kuat. Rasulullah pernah menggambarkan dalam sebuah Hadis. “Orang yang kuat bukanlah orang yang bisa merobohkan orang. Orang yang kuat adalah orang yang bisa menahan diri ketika marah.” (HR al-Bukhari).

Dalam khasanah-khasanah Islam, sabar disebutkan ada tiga macam:

Pertama
, sabar dalam ketaatan kepada Allah. Merealisasikan ketaatan kepada Allah sangat membutuhkan kesabaran, karena tipikal jiwa manusia cenderung enggan untuk beribadah dan melakukan ketaatan. Ditinjau dari penyebabnya, ada tiga hal yang menyebabkan manusia sulit sabar untuk taat: (a) karena malas, seperti dalam melakukan ibadah salat; (b) karena kikir, seperti dalam menunaikan zakat, infak, dan sedekah; (c) karena malas dan kikir, seperti dalam haji dan jihad.

Kedua
, Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan. Meninggalkan kemaksiatan juga membutuhkan kesabaran yang besar, terutama maksiat yang sangat mudah untuk dilakukan, sepertimenggunjing, berdusta, dan melihat sesuatu yang diharamkan. Jika seseorang sudah terlanjur jatuh, maka hendaklah dia segera bertobat, menyesali, dan segera melakukan perbuatan-perbuatan baik setelahnya.

Ketiga
, sabar dalam menghadapi takdir, ujian dan cobaan dari Allah, seperti mendapatkan musibah, baik yang bersifat materi ataupun bukan; misalnya kehilangan harta dan kehilangan orang yang dicintai.

Syekh Zaid al-Madkhali mengatakan, “Jenis sabar yang ketiga adalah bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada suatu gerakan pun di alam raya ini, juga suatu kejadian atau urusan melainkan Allah yang menakdirkannya. Maka bersabar itu harus dalam menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya…” (Tharîqul-Wushûl, hal. 15-17)

Selain tiga kesabaran di atas, ada sabar yang dalam bahasa Arab disebut “hilm” atau santun. Hilm adalah sabar dalam menghadapi hal-hal yang tidak ia sukai, bisa menahan diri, tidak cepat marah dan emosi.

Jika seseorang bisa memegang seluruh jenis kesabaran itu dalam setiap nafas hidupnya, maka ia pasti menjadi orang yang senantiasa diteduhi kebahagiaan sejati. Oleh karena itu, Ibnu Qayyim menyatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.”

Maka, dalam al-Qur’an pun ditegaskan bahwa orang-orang sabar akan mendapatkan pahala kebaikannya (surga) dengan tanpa melalui proses penghitungan amal. Mereka masuk ke surga tanpa hambatan apapun.
Sumber: Buletin SIDOGIRI

Muhammad Al-Fatih; Sang Penakluk Konstantinopel



“Konstantinopel akan ditaklukkan oleh tentara Islam. Rajanya adalah sebaik-baik raja & tentaranya adalah sebaik-baik tentara.”
(HR Ahmad bin Hanbal, al-Musnad IV/335)
***
Muhammad Al-Fatih adalah sultan ketujuh kekhalifahan Turki Utsmani. Ia mendapatkan gelar al-Fâtih (Sang Pembebas) karena keberhasilannya membebaskan Konstantinopel, ibukota Romawi Timur. Ia pula yang mengganti nama Konstantinopel menjadi Islambol, yang berarti Islam keseluruhannya.
Sejak saat itu, Islambol menjadi pusat kekhalifahan Turki Utsmani hingga 407 tahun berikutnya. Kini nama tersebut telah diganti oleh Mustafa Kemal Ataturk menjadi Istanbul. Untuk memperingati jasanya, Masjid Al Fatih telah dibangun di sebelah makamnya.
***
Muhammad lahir pada tanggal 27 Rajab 835 H/29 Mei 1432 M di Adrianopel, Ibukota Turki Utsmani kala itu. Sejak dalam buaian Muhammad sudah diisyaratkan bakal menciptakan sejarah besar oleh seorang alim, Syekh Syamsuddin al-Wali. Beliau pernah berkata kepada Sultan Murad II, “Wahai Sultan Murad, bukan tuanku yang akan membebaskan Konstantinopel, tetapi anak yang dalam buaian itu,” sambil menunjuk Muhammad kecil yang masih di dalam buaian.
Sejak itu Muhammad dilatih hidup sederhana, dididik dengan ilmu agama dan ilmu militer. Sultan dibimbing secara intensif oleh para ulama terbaik di zamannya. Di antara gurunya adalah Muhammad bin Ismail al-Qourani al-Kurdi. Di bawah bimbingannya Muhammad belajar degan giat dan hafal al-Quran sejak usia dini.
Ia juga mengaji berbagai macam disiplin ilmu kepada Syekh Aaq Syamsuddin (Samsettin). Dari Syekh Syamsudin Sultan belajar ilmu agama, bahasa, keterampilan, fisik, geografi, falak dan sejarah. Sultan juga rajin mempelajari biografi tokoh-tokoh Eropa seperti Agustus Caesar, Konstantin, hingga Iskandar Agung dari Macedonia.
Syekh Syamsuddin pula yang meyakinkan Muhammad bahwa ia adalah orang yang dimaksudkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di dalam Hadis pembebasan Konstantinopel.
Dalam perkembangannya, Muhammad tumbuh menjadi pemuda yang cerdas. Ia ahli dalam bidang militer, tata negara, sains dan matematika. Bahkan, saat usianya masih 21 tahun, ia telah berhasil menguasai 6 bahasa: Arab, Latin, Yunani, Serbia, Turki, Persia, dan Hebrew. Di atas semua itu, ia merupakan pribadi yang saleh dan ahli ibadah. Ia tidak pernah meninggalkan salat fardu, Tahajud dan Rawatib sejak balig hingga wafat.
Memerintah Selama Dua Periode
Muhammad memerintah selama dua periode. Periode pertama adalah 1444-1445. Saat itu usianya masih 12 tahun. Sultan diberi mandat untuk menggantikan ayahnya yang memilih beruzlah dan menjauh dari hiruk-pikuk politik.
Sultan Murad II berhenti dari jabatannya di tengah begitu banyak problem, baik internal maupun eksternal. Sementara khilafah sedang menghadapi serangan bertubi-tubi dari tentara kerajaan Romawi Timur.
Sebagai khalifah yang masih sangat belia, Muhammad kemudian berinisiatif untuk mengirim utusan kepada ayahandanya dengan membawa pesan. Isinya cukup unik: mengajak sang ayahanda tidak berdiam diri menghadapi masalah negara, “Siapakah yang saat ini menjadi khalifah: saya atau ayah? Kalau saya yang menjadi khalifah, maka sebagai khalifah, saya perintahkan ayahanda untuk datang kemari ikut membela negara. Tapi kalau ayahanda yang menjadi khalifah, maka seharusnya seorang khalifah berada di tengah rakyatnya dalam situasi seperti ini.”
Akhirnya Murad II kembali ke tengah-tengah rakyatnya. Murad II kembali memerintah mulai tahun 1445 hingga meninggal dunia pada tahun 1451. Setelah itu amanah kekhalifahan diemban sepenuhnya oleh Muhammad. Tahun 1451-1481 adalah periode kedua kepemimpinannya dalam kekhalifahan Turki Utsmani.
Membebaskan Konstantinopel
Pada periode ini, Muhammad memulai upaya pembebasan Konstantinpel. Ia melakukan langkah-langkah yang matang untuk menyukseskan misi suci itu.
Sejarawan Islam, Ismail Hami Danshbund, yang hidup sezaman dengan Muhammad melukiskan, sejak menaiki singgasananya Sultan harus rela ‘begadang’ setiap malam guna mempelajari peta dan keadaan Kota Konstantinopel guna mencari strategi yang jitu untuk penyerangan. Sultan mempelajari lokasi-lokasi mana yang cocok untuk pertahanan dan mencoba menemukan titik-titik kelemahan musuh. Selain itu, Sultan juga mengevaluasi kegagalan pasukan Islam sebelumnya.
Hari Jumat, 6 April 1453 M, Sultan bersama gurunya, Syekh Aaq Syamsuddin, beserta tangan kanannya, Halil Pasha dan Zaghanos Pasha merencanakan penyerangan ke Byzantium dari berbagai penjuru benteng kota tersebut. Dengan berbekal 150.000 ribu pasukan dan meriam buatan Urban, teknologi baru pada saat itu, Sultan mengirim surat kepada Paleologus untuk masuk Islam atau menyerahkan penguasaan kota secara damai atau perang. Konstantin Paleologus menjawab tetap mempertahankan kota dengan dibantu oleh Kardinal Isidor, Pangeran Orkhan dan Giovanni Giustiniani dari Genoa.
Kota dengan benteng setinggi 10 m tersebut memang sulit ditembus. Apalagi di sisi luar benteng dilindungi oleh parit seluas 7 m. Dari sebelah barat, pasukan altileri harus membobol benteng dua lapis. Dari arah selatan laut Marmara, pasukan laut harus berhadapan dengan pelaut Genoa pimpinan Giustiniani dan dari arah timur armada laut harus masuk ke selat sempit Golden Horn yang sudah dilindungi dengan rantai besar hingga kapal perang ukuran kecil pun tak bisa lewat.
Berhari-hari hingga berpekan-pekan benteng Byzantium tidak bisa ditembus. Usaha lain pun dicoba dengan menggali terowongan di bawah benteng, cukup menimbulkan kepanikan kota, namun juga gagal. Hingga akhirnya sebuah ide yang terdengar bodoh dilakukan hanya dalam semalam. Salah satu pertahanan yang agak lemah adalah melalui selat Golden Horn yang sudah dirantai. Ide tersebut akhirnya dilakukan, yaitu memindahkan kapal-kapal melalui darat untuk menghindari rantai penghalang, hanya dalam semalam dan 70-an kapal bisa memasuki wilayah selat Golden Horn.
29 Mei, setelah sehari istirahat perang, diiringi hujan Sultan kembali menyerang total dengan tiga lapis pasukan: irregular di lapis pertama, Anatolian Army di lapis kedua dan terakhir pasukan Yanisari, pasukan elit Turki Utsmani. Melihat semangat juang umat Islam, Giustiniani menyarankan Konstantin untuk mundur atau menyerah. Tapi Konstantin tetap tidak bergeming hingga gugur di peperangan. Konon, Konstantin melepas baju perang kerajaannya dan bertempur bersama pasukan biasa hingga tidak pernah ditemukan jasadnya. Giustiniani sendiri meninggalkan kota dengan pasukan Genoa-nya. Kardinal Isidor sendiri lolos dengan menyamar sebagai budak melalui Galata, dan Pangeran Orkhan gugur di peperangan.
Saat Konstantinopel telah berhasil dibebaskan, Sultan Muhammad yang masih berusia 21 tahun itu turun dari kudanya dan bersujud syukur kepada Allah. Sultan lalu pergi ke Gereja Hagia Sophia dan memberikan perlindungan kepada semua penduduk, termasuk Yahudi dan Kristen. Kemudian Sultan mengubah Hagia Sophia menjadi masjid yang dikenal dengan Aya Sofia dan membiarkan gereja-gereja lain tetap sebagaimana fungsinya bagi penganutnya.
***
Setelah itu, Sultan membebaskan Serbia pada tahun 1460 dan Bosnia pada tahun 1462. Seterusnya Sultan membebaskan Italia, Hungaria, dan Jerman. Pada puncak kegemilangannya, Sultan Muhammad memerintah di 25 negeri.
Kemudian Sultan membuat persiapan untuk membebaskan Rhodesia. Tapi sebelum rencana itu terlaksana Sultan meninggal dunia karena diracun oleh seorang Yahudi bernama Maesto Jakopa. Sultan Muhammad wafat pada 3 Mei 1481 ketika berusia 49 tahun.
Sumber: Buletin SIDOGIRI

Minggu, 09 Oktober 2011

Memotivasi Diri Untuk Belajar Ilmu Syar’i


Saat ini, orang yang mau belajar dan menekuni ilmu syar’i sudah sangat langka, yang banyak adalah belajar ilmu syar’i sekedarnya. Misalnya, sekali seminggu menghadiri pengajian, mengikuti kursus-kursus singkat, membaca buku terjemahan, atau sekedar mengikuti mata pelajaran agama di sekolah yang porsinya sangat kurang. Akibatnya, banyak umat Islam yang buta akan ajaran agamanya. Jangankan pengetahuan ilmu syar’i secara umum, hal-hal yang wajib diketahui dalam uru-san agama pun banyak yang tidak tahu.
Yang dimaksud ilmu syar’i (agama) di sini, bukanlah sembarang ilmu agama, namun ilmu syar’i yang benar-benar shahih berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan manhaj (pemahaman dan pengamalan) para ulama Salaf.
Kedua, yang dimaksud ilmu syar’i di sini adalah yang menghantarkan seseorang kepada takwa (Lihat QS. Fathir: 28), sehingga ia selalu menjaga keta’atan kepada Allah, baik ketika sendiri maupun di tengah banyak orang.
Ketiga, ilmu syar’i yang kita maksud di sini adalah yang mendorong pemiliknya untuk mengamalkannya. Ia tidak sekedar wacana, teori atau sekedar pengetahuan.
Sebab Kurangnya Motivasi
Ada banyak sebab sehingga seseorang kurang atau tidak termotivasi belajar ilmu syar’i. Di antara yang terpenting adalah:
Pertama, Tidak Mengetahui Tingginya Kedudukan Ilmu Syar’i.
Padahal Nabi Shallallaahu alaihi wasalam menyatakan, artinya: “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan untuknya, niscaya ia dipahamkan dalam urusan agamanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Bukti Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba adalah dengan menganugerahinya pemahaman ilmu syar’i. Mereka itulah ulama, pewaris para nabi, penjaga syari’ah dan kemurnian agama Allah (Lihat QS. At-Taubah: 122). Ibnu Qayyim Rahimahullaah berkata: “Barangsiapa mencari ilmu untuk menghidupkan Islam, maka ia termasuk orang-orang shiddiqin, yang derajatnya setelah derajat para nabi ‘alaihimus salam.”
Kedua, Tidak Mengetahui Kewajiban Mencari Ilmu Syar’i.
Memang, tidak semua ilmu syar’i wajib kita ketahui secara luas dan mendalam. Misalnya harus memahami ilmu tafsir, hadits, aqidah, fiqh, faraidh dsb, sebab yang demikian itu adalah tugas para ulama (Lihat QS. At-Taubah: 122). Tetapi di dalam Islam, ada ilmu yang hukum mempelajarinya adalah fardhu ain (wajib bagi setiap individu muslim). Yaitu ilmu syar’i yang berkaitan dengan ibadah dan muamalah yang dikerjakan seseorang. Seperti syahadat, shalat, puasa, zakat, haji bagi yang mampu, dsb. Artinya, orang yang mengerjakan shalat misalnya, harus terlebih dahulu belajar tentang shalat secara benar sesuai tuntunan RasulAllah . Bila tidak belajar tentang tata cara shalat, maka dia berdosa sebab berakibat pada berbagai kesalahan dalam shalatnya, demikian juga dengan amalan yang lain.
Ketiga, Terjangkit Penyakit Cinta Dunia dan Takut Mati.
Kini mayoritas umat Islam memandang sesuatu dengan kaca mata duniawi. Artinya, sejauh mana sesuatu itu bisa mendatangkan manfaat materiil dan bisa menjamin kesejahteraannya di dunia. Karena dalam pandangan mereka ilmu syar’i tidak menjanjikan kekayaan, jabatan dan popularitas maka mereka enggan mempelajarinya. Padahal bila manusia hidup sekedar untuk memenuhi kebutuhan jasmani (materi), maka tidak ada bedanya dengan binatang. (Lihat QS. Muham-mad:12) Pemenuhan kebutuhan jasmani tidak menjamin kebahagiaan dan ketenangan. Kebahagiaan letaknya di hati, sedangkan hati makanannya adalah ilmu syar’i yang mendekatkannya kepada Allah Maha Pemberi, yang memberikan kebahagiaan hakiki, di dunia maupun di akhirat.
Agar TermotivasiI Belajar Ilmu Syar’i
1. Ikhlas Karena Allah.
Sarana terbesar untuk memotivasi seseorang belajar ilmu syar’i adalah niat yang ikhlas dan jujur kepada Allah. Orang yang belajar karena Allah semata, akan mendapatkan pertolongan Allah, sehingga semangatnya terus berkobar. Imam Ibnu Jamaah rahima-hullah menegaskan tentang ikhlas: “Hendaknya dalam belajar ia memaksudkan hanya untuk mengharapkan ridha Allah, mengamalkannya, meng-hidupkan syari’ah-Nya, menerangi hatinya, menghiasi batinnya dan untuk mendapatkan janji Allah bagi para ahli ilmu. Sebaliknya, tidak untuk mendapatkan hal-hal duniawi, seperti kepemimpinan, jabatan, harta, dan pujian manusia !
Jika seseorang merasa kurang ikhlas, maka jangan lantas berhenti menuntut ilmu, tetapi wajib memaksa dirinya untuk ikhlas karena Allah, berusaha terus memperbaiki niat dan membersihkannya. Bila dia benar-benar jujur kepada Allah untuk mencapai keikhlasan, insya Allah ia akan dimudahkan Allah.
2. Mengenal Perjuangan Ulama Salaf Dalam Menuntut Ilmu.
Imam Syafi’i rahimahullah pernah ditanya, “Bagaimana hasrat tuan ter-hadap ilmu?”Beliau manjawab, “Saya seperti mendengar kata-kata yang tidak pernah saya dengar. Saya bahkan ingin agar saya punya banyak pendengaran, supaya bisa menikmati seperti yang dinikmati oleh kedua telinga saya”. “Bagaimana kerakusan anda terhadap ilmu?” Beliau menjawab,“Seperti rakusnya pencari harta yang mencapai puncak kenikmatan karena hartanya.’ ‘Bagaimana tuan mencari ilmu?’ beliau menjawab ‘Seperti seorang ibu yang bingung mencari anaknya, yang semata wayang’. Ibnu Asakir dalam menceritakan Abu Manshur Muhammad bin Husain An-Naisaburi berkata, ‘Beliau terus bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, meski dalam kondisi fakir. Bahkan beliau meng-ulangi dan menulis pelajarannya di bawah sinar rembulan, karena tidak mampu membeli minyak lampu.’
Ibnu Katsir berkata, ‘Ilmu tidak bisa diperoleh dengan leha-leha.’ Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi berkata, ‘Untuk menuntut ilmu hadits, saya mengalami kencing darah dua kali, pertama di Baghdad dan kedua di Makkah. Hal itu karena saya berjalan dengan kaki telanjang di tengah sengatan terik matahari. Saya tidak pernah naik kendaraan saat mencari hadits kecuali sekali, dan saya selalu membawa kitab-kitab di punggung saya.’ Sementara Imam Baqi bin Mukhallad Al-Andalusi pada tahun 221H berjalan kaki dari Andalus (Spanyol) ke Baghdad untuk menemui dan belajar kepada Imam Ahmad.
3.Mengetahui Penyesalan Ulama Salaf Atas Hilangnya Kesempatan Menuntut Ilmu.
Ahmad bin Ibrahim Al-Abbas berkata, ‘Ketika sampai berita wafatnya Imam Muhammad Ar-Razi, saya masuk kamar dan menangis. Keluargaku mengerumuniku dan bertanya, ‘Apa yang menimpamu?’ ‘Imam Muhammad Ar-Razi telah wafat, kalian melarangku ke sana untuk menuntut ilmu,’ jawab-ku. Akhirnya mereka mengizinkanku mencari ilmu kepada Syaikh Hasan bin Sinan.’ Abu Ali Al-Farisi berkata: ‘Terjadi kebakaran besar di Baghdad, semua kitabku terbakar, padahal saya menulisnya dengan kedua tanganku. Selama dua bulan saya tidak kuasa berbicara dengan seorang pun, karena kesedihan dan duka yang dalam, bahkan beberapa saat saya dalam keadaan linglung.’ Imam Syu’bah bin Al-Hajjaj berkata, ‘Saya ingat, saya pernah ketinggalan tidak mendengar satu hadits dari Syaikh saya, sehingga saya sakit (karena sangat menyesal dan sedih akibat ketinggalan tersebut).
4. Mengetahui Bagaimana Para Ulama Salaf Tidak Tidur Untuk Menuntut Ilmu.
Dikisahkan, Imam Asad bin Al-Furat melakukan perjalanan ke Iraq un-tuk belajar kepada Syaikh Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani Rahimahullaah. Imam Asad berkata, “Saya orang asing dan bekalku hanya sedikit, bagaimana agar saya bisa belajar lebih dari sekedar mengikuti kajian tuan?” Syaikh Asy-Syaibani menjawab, “Tetaplah ikut kajian pada siang hari, dan saya khususkan waktu malam untuk mengajarimu sendirian. Menginaplah di rumahku dan kamu akan saya ajari ilmu’. Imam Asad berkata, “Maka saya pun menginap di rumah beliau, beliau mendatangiku dengan membawa seember air. Beliau lalu membacakan ilmu untukku, jika malam telah larut dan aku mengantuk, beliau mengambil air dan memercikkannya ke mukaku, sehingga saya bersemangat lagi. Demikian terus berlalu, sehingga saya selesai belajar ilmu apa saja yang saya inginkan.”
Abul Qasim Al-Muqri’ berkata, Imam Al-Hazimi senantiasa menelaah kitab dan mengarang hingga terbit fajar. Seseorang kemudian berkata kepada pembantunya, ‘Jangan kamu berikan minyak untuk pelitanya, barangkali beliau istirahat malam itu.’ Ketika malam tiba, Imam Al-Hazimi meminta minyak kepada pembantunya. Lalu dijawab, minyaknya telah habis. Imam Al-Hazimi lalu masuk ke rumahnya dan shalat di dalam kegelapan malam sampai terbit fajar.’
5. Menjauhi Teman-Teman Yang Malas.
Di antara pembunuh semangat belajar ilmu syar’i adalah berteman dengan orang-orang ahli maksiat. Tidak kalah bahayanya adalah bergaul dengan orang-orang yang malas serta enggan melakukan kegiatan positif dan bermanfaat. Abu Hurairahzberkata, Rasulullah Shallallaahu alaihi wasalam bersabda: “Seseorang itu tergantung agama kawannya. Karena itu, hendaknya salah seorang dari kamu melihat siapa temannya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
6. Merasakan Bahwa Anda Terus Berperang dengan Setan.
Setan adalah musuh bebuyutan anak cucu Adam. Mereka menghalangi setiap muslim dari menjalankan kebaikan, termasuk mencari ilmu. Di antara cara setan dalam menghalangi manusia dari mencari ilmu syar’i adalah:
Pertama, menunda-nunda belajar. Setiap kali seseorang ingin mempelajari ilmu dan membaca, setan membisikinya dengan mengatakan, tunda saja besok pagi, sekarang waktunya tidak tepat. Demikian dilakukan setan setiap saat, sampai orang itu menjadi tua, dan tidak berkesempatan mempelajari agamanya.
Kedua, dibisiki bahwa ilmu syar’i tidak akan bisa mengubah sesuatu pun bagi kondisinya sekarang. Argumen ini dapat kita bantah dengan melihat keadaan para pembaharu dan ulama Salaf. Seperti yang terjadi pada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab. Senjata mereka dalam memperbaiki keadaan adalah hujjah (dalil) dan ilmu.
Ketiga, membisiki bahwa dirinya tidak akan mampu belajar ilmu syar’i. Apalagi jika yang bersangkutan adalah orang awam yang baru saja bertaubat kepada Allah. Ia merasa tidak bisa menuntut ilmu agama karena terbiasa dengan kemaksiatan dan kemalasan. Ia merasa sulit menghilangkan masa lalunya, sehingga sulit pula belajar ilmu syar’i.
Untuk mengobati penyakit ini ada dua hal penting yang harus diingat, pertama, merubah kebiasaan masa lalu yang buruk menjadi kebiasaan yang terpuji dengan terus melawan hawa nafsu dan membiasakan kebaikan, dan kedua, hendaknya ia merenungkan keadaan para penuntut ilmu. Di antara mereka dahulunya ada orang-orang yang sesat, kemudian Allah menganugerahkan hidayah dan istiqamah kepada mereka, maka mereka menjadi giat menuntut ilmu. Mengapa ia tidak berusaha seperti mereka?
Artikel Buletin An-Nur : (Dra. Zakiyah)
www.alsofwah.or.id


APA YANG KITA SOMBONGKAN ??


Seorang pria yang bertamu ke rumah Sang Guru, dan dia tertegun
keheranan. Dia melihat Sang Guru sedang sibuk bekerja; ia mengangkuti
air dengan ember dan menyikat lantai rumahnya keras-keras. Keringatnya
bercucuran deras. Menyaksikan keganjilan ini orang itu bertanya, “Apa
yang sedang Anda lakukan?”
Sang Guru menjawab, “Tadi saya kedatangan serombongan tamu yang meminta
nasihat. Saya memberikan banyak nasihat yang bermanfaat bagi mereka.
Merekapun tampak puas sekali. Namun, setelah mereka pulang tiba-tiba saya
merasa menjadi orang yang hebat. Kesombongan saya mulai bermunculan. Karena
itu, saya melakukan ini untuk membunuh perasaan sombong saya.”
Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua, yang
benih-benihnya terlalu kerap muncul tanpa kita sadari. Di tingkat
terbawah, sombong disebabkan oleh faktor materi. Kita merasa lebih kaya, lebih
rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain.
Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh factor kecerdasan. Kita merasa
lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang
lain.
Di tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh factor kebaikan. Kita sering
menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus
dibandingkan dengan orang lain.
Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit pula
kita mendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namun
sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi
karena seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.
Akar dari kesombongan ini adalah ego yang berlebihan. Pada tataran yang
lumrah, ego menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri (self-esteem)
dan kepercayaan diri (self-confidence). Akan tetapi, begitu kedua hal ini
berubah menjadi kebanggaan (pride), Anda sudah berada sangat dekat
dengan kesombongan. Batas antara bangga dan sombong tidaklah terlalu jelas.
Kita sebenarnya terdiri dari dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan
kesadaran sejati di lain kutub. Pada saat terlahir ke dunia, kita dalam
keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan tetapi, seiring dengan
waktu, kita mulai memupuk berbagai keinginan, lebih dari sekadar yang kita
butuhkan dalam hidup. Keenam indra kita selalu mengatakan bahwa kita
memerlukan lebih banyak lagi.
Perjalanan hidup cenderung menggiring kita menuju kutub ego. Ilusi ego
inilah yang memperkenalkan kita kepada dualisme ketamakan (ekstrem suka)
dan kebencian (ekstrem tidak suka). Inilah akar dari segala permasalahan.
Perjuangan melawan kesombongan merupakan perjuangan menuju kesadaran
sejati. Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya, ada dua
perubahan paradigma yang perlu kita lakukan. Pertama, kita perlu menyadari bahwa
pada hakikatnya kita bukanlah makhluk fisik, tetapi makhluk spiritual.
Kesejatian kita adalah spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah sarana untuk
hidup di dunia. Kita lahir dengan tangan kosong, dan (ingat!) kita pun akan
mati dengan tangan kosong.
Pandangan seperti ini akan membuat kita melihat semua makhluk dalam
kesetaraan universal. Kita tidak akan lagi terkelabui oleh penampilan,
label, dan segala “tampak luar” lainnya. Yang kini kita lihat adalah
“tampak dalam”. Pandangan seperti ini akan membantu menjauhkan kita dari
berbagai kesombongan atau ilusi ego.
Kedua, kita perlu menyadari bahwa apa pun perbuatan baik yang kita
lakukan, semuanya itu semata-mata adalah juga demi diri kita sendiri. Kita
memberikan sesuatu kepada orang lain adalah juga demi kita sendiri.
yaitu agar masuk surga dan terhindar dari neraka.
Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi.
Energi yang kita berikan kepada dunia tak akan pernah musnah. Energi itu
akan kembali kepada kita dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang kita
lakukan pasti akan kembali kepada kita dalam bentuk persahabatan, cinta
kasih, makna hidup, maupun kepuasan batin yang mendalam. Jadi, setiap
berbuat baik kepada pihak lain, kita sebenarnya sedang berbuat baik
kepada diri kita sendiri.
Kalau begitu, apa yang kita sombongkan?
http://www.kapanlagi.com/clubbing/viewtopic.php?t=14764

Jumat, 07 Oktober 2011

Optimislah, Jangan Pesimis!


“Jadilah orang yang optimistis, jangan menjadi orang yang pesimistis!” (Syekh Mustafa al-Ghalayaini)

Kita harus yakin bahwa Allah Mahakuasa. Tak ada yang terlepas dari kekuasaan-Nya. Di ‘tangan-Nyalah’ segala sesuatu. Allah I Maha mengatur, Allah Maha berkehendak, Allah yang membuat sesuatu menjadi mulia, dan Allah pula yang membuat sesuatu menjadi hina. Jika Allah menghendaki sesuatu terjadi, meskipun sulit menurut kita, maka itu pasti terjadi.

Kepercayaan akan semua ini, dalam pandangan Islam dikenal dengan sebutan tawakal. Semakin kuat kepercayaan ini, maka akan semakin tebal rasa tawakal, dan akhirnya rasa optimis dalam diri semakin bertambah. Dari rasa tawakal inilah optimis berawal. Rasa optimis haruslah mengalahkan pesimis yang bisa menyerang siapa saja. Jika ingin berhasil, kita harus bisa membangun rasa optimis dalam diri dan kita memulainya dengan memupuk rasa tawakal kepada Allah.

Optimis yang lahir dari tawakal itulah yang menyebabkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para khalifah setelahnya bisa memenangkan banyak pertempuran melawan orang kafir. Dalam berbagai medan peperangan, sebenarnya pasukan muslim selalu kalah dalam hal jumlah prajurit, fasilitas persenjataan, kelengkapan medis, dan lain sebagainya. Tetapi sejarah mencatat, kaum muslimin hampir selalu meraih kemenangan dalam setiap pertempuran. Salah satu kuncinya adalah optimisme dan keyakinan kepada kekuasaan Allah.

Pernah, kaum Muslimin agak pesimis. Yaitu, saat menghadapi Romawi di Perang Yarmuk tahun 13 Hijriah. Jumlah prajurit dan perlengkapan senjata antara dua pasukan sangat tidak berimbang. Pasukan Romawi mencapai 240.000 personel, sedangkan jumlah pasukan Islam tidak sampai 30.000 personel. Melihat hal ini, Panglima Khalid bin Walid, mencoba membangkitkan rasa optimisme pasukan Islam. Ia berteriak, “Betapa sedikitnya pasukan Romawi dan betapa banyak pasukan Islam. Banyak dan sedikit bukan dari jumlah prajurit. Pasukan dianggap banyak jika ia menang dan sedikit jika ia kalah.” Ketika itu optimisme pasukan Islam bangkit dan akhirnya mampu memporak-porandakan pasukan Romawi.

Manusia, ketika dihadapkan pada hal-hal sulit atau menemukan sebuah tantangan besar, maka ada dua pilihan yang harus dia ambil salah: maju menabrak dan menjawab tantangan tersebut atau mundur tanpa melakukan apa-apa. Jika dia memilih maju, maka ada dua kemungkinan yang bisa diraih, berhasil atau gagal. Tapi, jika dia memilih diam tanpa ada usaha dan tindakan nyata, maka kemungkinannya hanya satu, yaitu gagal. Dari ini, maka diperlukan pemupukan sikap optimis dalam menghadapi setiap tantangan dan membuang jauh-jauh sikap pesimis.

Optimis merupakan keyakinan diri dan merupakan salah satu sifat yang sangat ditekankan dalam Islam. Dengan sifat optimis seseorang akan bersemangat dalam menjalani hidup ini untuk menjadi lebih baik. Allah melarang dan tidak menyukai orang yang bersikap lemah dan pesimistis baik dalam bertindak, berusaha, maupun berpikir. Dalam al-Qur’an Allah berfirman (artinya):

“Janganlah kalian bersikap lemah, dan janganlah (pula) bersedih hati, padahal kalianlah orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kalian beriman.” (QS Ali Imran [3]: 139)

Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda, ”Mukmin yang kuat 
lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah,…” (HR an-Nasai dan al-Baihaqi)

Optimis berarti berusaha semaksimal mungkin dalam mencapai target atau standar ideal. Adanya standar ideal dan visi-misi yang jelas bisa menjadi tolok ukur dan memperjelas arah tujuan kita, agar hidup tidak sekadar mengalir begitu saja. Dengan begitu kita bisa mengetahui di manakah posisi kita dalam standar tersebut, sehingga bisa terpacu untuk menjadi lebih baik.

Memang tidak ada manusia yang sempurna, kenyataan tak selalu sesuai dengan impian. Dalam mewujudkan niat dan rencana yang sudah dibuat, tak jarang kita dihadapkan pada kondisi dan keadaan yang jauh berbeda dengan harapan. Namun, yang terpenting dari semua itu adalah sejauh mana dan sekeras apa kita berusaha mencapainya. Hal ini jika tidak dihadapi dengan sikap optimis, sabar, dan disertai tawakal kepada Allah u akan mempengaruhi pola pikir kita berikutnya. Allah u berfirman menceritakan doa hamba-Nya:

“Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau memberikan kekuasaan kepada yang Engkau kehendaki dan mencabut kekuasaan kepada yang dikehendaki. Engkau memuliakan yang Engkau kehendaki dan menghinakan yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah segala kebaikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Ali Imran [3]: 26)

Perlu diperhatikan, optimis bukan berarti terus maju tanpa pertimbangan matang. Optimis tanpa perhitungan merupakan suatu kekonyolan dan kebodohan yang nyata. Sikap seperti ini pun dibenci oleh Islam. Islam sangat mendorong dan mendukung sikap optimis yang proporsional dan dilandasi perhitungan yang matang, di samping keyakinan yang kuat dan sikap tawakal kepada Allah.

Dengan demikian, sikap optimis akan menjadi energi hidup yang terus menyala di waktu yang tepat. Kita harus selalu menumbuhkan semangat pantang menyerah, terus berdoa sambil berusaha, serta beramal dengan penuh keyakinan akan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala. Bila Allah berkehendak hal tersulit sekalipun akan menjadi sangat mudah bagi kita. Jika belum mencoba, jangan mengatakan tidak bisa. Seorang mukmin tidak boleh kalah sebelum berperang.

Sumber: Buletin SIDOGIRI

Tumpas Rasa Malas


“Seandainya”, kalimat ini begitu akrab dalam kehidupan sehari-hari. Disadari atau tidak, sebagian besar orang boleh jadi biasa mengucapkannya, “Seandainya aku melakukan ini, tentunya begini dan begini, tidak justru begini.” Ungkapan ini berkonotasi sebagai angan-angan semu dan sesuatu yang tidak akan terjadi.
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sangat tidak menyukai umatnya mengumbar kata-kata “seandainya”. Beliau mewanti-wantikan kepada mereka bahwa kalimat “lau” (seandainya) adalah tipu daya setan. Orang yang selalu mengumbar kata ini adalah pemalas yang hanya bisa berhasrat tapi tak bersemangat.
Jika kita sudah benar-benar dijangkiti rasa malas, maka cepat-cepatlah berusaha melawan dan membuangnya jauh-jauh. Malas adalah sifat buruk yang wajib dihindari oleh semua muslim. Malas adalah ciri-ciri orang munafik. Firman Allah dalam al-Qur’an (artinya):
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS an-Nisa’ [4]: 142)
Jika kita mulai kedatangan tamu yang bernama ‘malas’ dan kita ingin mengusirnya, berikut ini beberapa tips yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

1) Perbanyak Doa
Doa adalah senjata orang mukmin, begitulah Nabi menegaskan. Ibnu Qayyim dalam karyanya al-Jawâb al-Kâfî li Man Sa’ala ‘anid-Dawâ’ asy-Syâfi, menjelaskan bahwa obat mujarab untuk menyembuhkan jiwa orang mukmin yang sudah terjangkiti berbagai penyakit adalah berdoa dan bersungguh-sungguh dalam doa. Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk menanggulangi rasa malas adalah:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْبُخْلِ والْجُبْنِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ. رواه أبو داود
“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kegelisahan dan kesusahan, dan aku berlindung pada-Mu dari kelemahan dan sifat malas, dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir dan pengecut, dan aku berlindung pada-Mu dari hutang yang tak mampu ditanggung serta kesewenangan orang yang tak mampu dilawan.” (HR Abu Dawud)

2) Lawanlah Setan dan Nafsu

Malas sebenarnya berasal dari setan. Setan akan terus berusaha mengusik dan membujuk nafsu manusia untuk malas, baik dalam menunaikan ibadah maupun dalam aktivitas yang lain. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:
“Setan mengikatkan tiga ikatan di belakang kepala salah seorang dari kalian ketika tidur. Pada setiap ikatan setan mengatakan, “Malam masih panjang, tidurlah.” Apabila salah seorang dari kalian terjaga dari tidur, lalu menyebut nama Allah, maka akan terlerai satu ikatan. Jika ia mengambil wudu, maka terlerai satu ikatan lagi. Dan jika ia salat, maka terlerailah semua ikatan. Jika demikian, maka ia akan bangun di waktu pagi dalam keadaan rajin serta lapang hatinya. Jika ia tidak (melakukannya), maka ia bangun pagi dalam keadaan buruk jiwanya dan diliputi rasa malas.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibn Hibban, dan lainnya)
Hadis ini menunjukkan bahwa malas berasal dari setan dan kita harus berusaha terus melawannya dengan tidak menuruti apapun yang dibisikkan olehnya. Jika setan sudah bisa dikalahkan, maka malaspun akan hilang.

3) Menimba Ilmu
Timbalah ilmu sebanyak mungkin. Dengan ilmulah seseorang akan menjadi orang yang rajin dan cekatan dalam hidupnya. Mengapa ilmu? Apa hubungan antara ilmu dengan rajin? Gambaran sederhananya begini: ketika seseorang sudah mengetahui (memiliki ilmu) tentang fadilah dan keutamaan ibadah tertentu, maka pastinya akan menyebabkan ia rajin melakukan ibadah tersebut. Hal itu apabila dia memiliki keyakinan yang kuat tentang apa yang dipelajari. Orang yang memiliki ilmu mengenai keutamaan salat jamaah, ia akan terdorong untuk rajin mengerjakan salat jamaah. Begitupun ketika seseorang tahu bahwa malas berasal dari setan dan merupakan sifat orang munafik, dia akan memiliki dorongan untuk mengusirnya.
Sejalan dengan hal tersebut, sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Salat yang paling berat bagi orang munafik adalah salat Isyak dan salat Subuh. Seandainya mereka mengetahui pahala yang ada pada keduanya, niscaya mereka akan datang untuk salat walaupun harus merangkak.” (HR an-Nasa’i, ath-Thabrani, dan al-Baihaqi)
Sabda tersebut menunjukkan betapa pentingnya pengetahuan mengenai hakikat sesuatu. Ilmu menyebabkan semangat dan sikap seseorang terhadap sebuah amal berubah 180 derajat. Ilmu akan menuntun seseorang untuk rajin dan cekatan dalam mengisi waktu dengan kegiatan yang bermanfaat.

Sumber: Buletin SIDOGIRI
Trik-Trik Syaithan Dalam Menggoda Anak Manusia
Mukaddimah
Kisah berikut ini kami ambil dari buku yang nanti akan kami sebutkan di akhir tulisan. Namun, karena terkait dengan kualitas hadits; apakah ia hadits yang shahih atau tidak, maka perlu kami berikan sedikit penjelasan.
Yaitu, bahwa mengenai kisah ini terdapat banyak versi dan penafsirannya dapat diambil dari tafsir terhadap ayat 16 surat al-Hasyr.
Dalam hal ini, sedikit kami ketengahkan perkataan Ibn Katsir dalam tafsirnya terhadap ayat tersebut, “Yakni seperti orang-orang Yahudi yang tergiur oleh rayuan orang-orang Munafik yang menjanjikan kemenangan dan pertolongan mereka, namun tatkala mereka (orang-orang Yahudi) benar-benar dikepung kaum Muslimin dan terjadi peperangan; orang-orang Munafik tersebut meninggalkan mereka sendirian menghadapi kebinasaan. Permisalan mereka dalam hal ini seperti permisalan syaithan tatkala menggoda manusia agar kafir –wal ‘iyaadzu billah- di mana bila ia (manusia) sudah masuk ke dalam perangkapnya, ia pun berlepas diri darinya dan kabur seraya berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam.’”
Ibn Katsir melanjutkan, “Berkenaan dengan ayat ini, sebagian mereka (para mufassir-red.,) menyebutkan sebuah kisah sebagian dari para ahli ibadah yang berasal dari kalangan Bani Israil, yang merupakan contoh bagi permisalan ini bukan sebagai yang dimaksudkan (dikehendaki) dalam penafsiran ayat ini, bahkan ia termasuk darinya beserta kisah nyata lainnya yang mirip dengannya…” (Tafsir Ibn Katsir, Jld.IV, h.436-438)
Dengan demikian, berdasarkan pernyataan Ibn Katsir tersebut, maka kisah yang akan diketengahkan berikut ini juga termasuk salah satu contoh (bukan maksud dari tafsir ayat tersebut) betapa syaithan menggunakan berbagai trik untuk menggoda manusia sehingga pada akhirnya mengikutinya dan terjerumus ke dalam perangkapnya (kafir kepada Allah) kecuali orang-orang yang dirahmati Rabb. Wallahu a’lam.
Jalan Cerita
Ada seorang ahli ibadah (‘Abid) dari kalangan Bani Israil, yang merupakan ahli ibadah pada masanya.
Tersebutlah tiga bersaudara yang memiliki satu-satunya saudara perempuan yang masih perawan. Suatu ketika, ketiga orang ini ingin pergi ikut berjihad di jalan Allah namun mereka tidak tahu kepada siapa saudara perempuan mereka itu akan dititipkan dan mendapatkan tempat yang aman padahal orang tua mereka sudah meninggal dunia. Lalu bersepakatlah mereka untuk menitipkannya kepada seorang ahli ibadah dari kalangan Bani Israil tersebut sebab hanya dia yang mereka percayai.
Karena itu, mereka mendatangi orang tersebut dan memintanya agar bersedia menerima titipan saudara perempuan mereka tersebut sehingga ia bisa tinggal dulu di sampingnya hingga mereka pulang kembali dari perjalanan namun si ahli ibadah ini menolaknya dan berlindung kepada Allah dari mereka dan sikap mereka tersebut. Karena terus didesak dan mereka tetap ngotot, akhirnya dia pun bersedia menerima seraya berkata, “Tolong inapkan dia di sebuah rumah di dekat tempat ibadah yang khusus untukku.” Maka mereka pun membawanya ke tempat itu, kemudian berangkat dan meninggalkannya.
Wanita, saudara perempuan ketiga orang itu pun menginap di rumah sang ahli ibadah itu hingga beberapa masa. Selama itu, dia turun dari tempat ibadahnya (yang berada di atas dan berdampingan dengan rumah di mana wanita itu tinggal) untuk memberinya makan, memanggilnya, lalu wanita itu keluar untuk mengambil makanan yang diletakkannya di suatu tempat.
Maka, syaithan pun memainkan perannya; pertama-tama ia pura-pura peduli dengan si ahli ibadah ini dengan mensugestinya terus agar berbuat baik, akan tetapi ia menyayangkan keluarnya si wanita itu dari rumahnya pada siang hari dengan menakut-nakutinya bahwa cara seperti itu bisa saja dilihat seseorang lalu tertarik pada wanita itu. Dia lalu menganjurkan, “Andaikata kamu sendiri yang berjalan dan meletakkan makanannya di pintu rumah, tempat si wanita itu, tentulah pahalanya bagimu lebih besar.” Si Iblis terus menggodanya dengan hal itu hingga akhirnya, si ahli ibadah itu mengikutinya. Dia datang ke rumah, tempat wanita itu menginap, membawa makanan itu sendiri dan meletakkannya di depan pintunya namun tidak berbicara sepatah kata pun dengannya. Kondisi ini berjalan beberapa lama.
Kemudian Iblis itu datang lagi seraya mensugestinya untuk senantiasa berbuat kebaikan sehingga mendapatkan pahala. Dia berkata, “Andaikata kamu berbicara dengannya sehingga dia bisa merasa terhibur denganmu. Sebab ia tentu dicekam kesepian yang amat sangat.” Iblis terus menggodanya hingga akhirnya dia berani mengajak si wanita itu berbicara sekalipun sembari melihat dari tempat ibadahnya yang berada di bagian atas.
Setelah itu, Iblis mendatanginya lagi seraya berkata, “Andaikata kamu menghampirinya dengan duduk di pintu tempat ibadahmu seraya mengajaknya berbicara sementara ia juga duduk di pintu rumahnya sambil berbicara denganmu, tentulah ini lebih baik dan lebih membuatnya terhibur (tidak kesepian).” Iblis terus menggodanya hingga akhirnya dia pun turun dan duduk di pintu tempat ibadahnya sambil mengajak berbicara si wanita itu yang juga keluar dari rumahnya sambil duduk di pintunya guna meladeninya berbicara. Kondisi ini pun berjalan beberapa lama.
Kemudian Iblis itu datang lagi seraya tidak lupa mensugestinya untuk berbuat kebaikan dan meraih pahala terhadap apa yang dilakukannya. Ia bertutur, “Andaikata kamu keluar saja dari tempat ibadahmu itu, kemudian duduk di dekat pintu rumahnya lalu mengajaknya bicara tentulah akan lebih membuatnya merasa terhibur lagi dan akan lebih baik baginya.” Iblis terus menggodanya hingga akhirnya dia melakukannya juga. Kondisi itu pun berjalan beberapa lama.
Kemudian Iblis datang lagi sembari terus mensugestinya untuk berbuat kebaikan. Ia berkata, “Andaikata kamu mendekatinya dan duduk di samping pintu rumahnya lalu berbicara dengannya tetapi dia tidak usah keluar dari rumahnya, tentu lebih baik.” Maka dia pun melakukannya; turun dari tempat ibadahnya, berdiri di depan pintu si wanita itu lalu berbicara dengannya. Kondisi ini berjalan untuk beberapa waktu.
Setelah itu, Iblis datang lagi seraya berkata, “Andaikata kamu masuk bersama-sama dengannya lalu berbicara akan tetapi dia tidak usah menampakkan wajahnya kepada siapapun, tentulah lebih baik bagimu.” Iblis terus menggodanya hingga si ahli ibadah ini pun memasuki rumah si wanita lalu mengajaknya berbicara sepanjang siang hari itu dan begitu siang sudah habis, ia kembali naik ke tempat ibadahnya.
Keesokan harinya, Iblis datang lagi dan terus membuatnya terbayang-bayang dengan si wanita tersebut hingga akhirnya si ahli ibadah berani memegang pahanya dan menciumnya. Iblis terus memperdayanya dengan membuat hal demikian elok di hadapan matanya dan menggodanya hingga akhirnya dia berbuat zina dengan wanita itu dan menghamilinya. Wanita itu pun kemudian melahirkan anak dari hasil hubungan gelap mereka.
Tak berapa lama setelah itu, Iblis datang lagi seraya berkata kepada si ahli ibadah, “Menurutmu, apa yang dapat kamu perbuat bila saudara-saudara si wanita itu datang lalu mendapatinya telah melahirkan seorang anak? Tidak, Aku tidak dapat menjamin bahwa ia (wanita) tidak membuka rahasia terhadap aib itu atau pun mereka nantinya berhasil menyingkap aibmu. Karena itu, pergilah ke anak itu lalu goroklah dia dan kuburkan, pasti ia (wanita itu) tidak akan angkat bicara karena takut saudara-saudaranya akan berbuat kasar terhadapmu begitu mengetahui apa yang telah kamu lakukan terhadapnya.” Maka, si ahli ibadah ini pun menuruti saja bujukan Iblis itu dengan membunuh anak hasil hubungannya dengan wanita tersebut.
Kemudian Iblis berkata lagi, “Menurutmu, apakah ia (wanita itu) tidak akan angkat bicara kepada saudara-saudaranya mengenai perlakuanmu terhadapnya dan anaknya yang telah kamu bunuh? Tidak, karena itu, singkirkan dan goroklah dia lalu kuburkan bersama anaknya.” Iblis terus menggodanya hingga akhirnya ia pun menggorok wanita itu dan membuang kedua mayat itu ke dalam sebuah lubang, lalu menyumbatnya dengan batu besar kemudian tanahnya diratakan kembali. Setelah itu, ia naik ke tempat ibadahnya seraya terus melakukan ritual. Kondisi ini berlangsung beberapa lama hingga kemudian saudara-saudara wanita itu pulang dari berperang. Mereka datang seraya menanyakan keadaan saudara perempuan mereka. Namun, si ahli ibadah ini dengan mimik sedih menyampaikan bela sungkawanya kepada mereka atas kematiannya dan mendoakan semoga Allah merahmati arwahnya.
Mendengar kejadian itu, mereka berniat tinggal beberapa hari di kuburannya, untuk kemudian kembali menemui sanak saudara mereka.
Begitu malam tiba dan mereka sudah tertidur pulas, datanglah syaithan dalam mimpi mereka menyamar sebagai seorang laki-laki yang sedang bepergian. Lalu ia memulai pertanyaannya kepada kakak sulung dari tiga bersaudara tersebut mengenai kondisi saudara perempuan mereka. Maka si kakak sulung itu memberitahukan kepadanya seperti yang telah dikatakan si ahli ibadah itu mengenai kematiannya, bagaimana dia berbelasungkawa dan menunjukkan lokasi dikuburkannya saudara perempuan mereka tersebut, akan tetapi syaithan –yang menyamar tersebut- menyangkal ucapan si ahli ibadah dan menganggapnya telah berdusta, seraya berkata, “Ia tidak berbicara jujur pada kalian mengenai saudara perempuan kalian tersebut. Sebenarnya, dia telah menghamilinya lalu lahirlah seorang anak, kemudian si ahli ibadah itu menggoroknya dan anak itu karena takut kepada kalian, setelah itu, dia melempar keduanya ke dalam lubang yang digalinya di belakang pintu rumah tempat tinggal sudara wanita kalian itu, tepatnya di sebelah kanan orang yang masuk ke sana. Pergilah ke sana, lalu masuklah ke rumah itu, pasti kalian akan menemukan mayat keduanya sebagaimana yang telah aku beritahukan kepada kalian ini.”
Iblis kemudian mendatangi mimpi saudara nomor dua mereka dan mengatakan kepadanya persis seperti yang dikatakannya kepada kakak sulung mereka, kemudian ia datang lagi ke dalam mimpi si bungsu dan mengatakan hal yang sama.
Tatkala bangun, mereka tertegun-tegun terhadap apa yang masing-masing mereka lihat dalam mimpi. Akhirnya masing-masing bertemu dan berkata kepada saudaranya, “Semalam aku melihat sesuatu yang aneh di dalam mimpi.” Masing-masing saling menceritakan apa yang dilihatnya.
Maka, berkatalah si kakak sulung, “Ini hanyalah mimpi belaka, tidak akan ada apa-apa. Ayo kita berangkat dan anggap saja hal ini sebagai angin lalu.”
“Demi Allah, aku tidak akan berangkat hingga mendatangi tempat tersebut lalu melihat apa yang ada di dalamnya,” kata si bungsu.
Akhinrya, mereka semua menuju ke rumah di mana saudara perempuan mereka pernah tinggal tersebut. Mereka buka pintunya dan mencari lokasi seperti yang disebutkan di dalam mimpi mereka. Ternyata, mereka mendapati saudara perempuan mereka dan anaknya dalam kondisi tergorok di dalam sebuah lubang sebagaimana yang dikatakan kepada mereka dalam mimpi itu. Lalu mereka menanyakan kebenaran hal itu kepada si ahli ibadah, maka ia pun membenarkan apa yang dikatakan Iblis pada mereka di dalam mimpi itu berkenaan dengan apa yang telah diperbuatnya terhadap ke-dua orang tersebut (si wanita dan anaknya).
Mereka kemudian mengangkat perkara tersebut kepaada raja, menurunkannya dari tempat ibadahnya dan menghadirkannya untuk disalib. Tatkala mereka telah mengikatnya di atas kayu untuk dibunuh, datanglah Iblis menjumpai si ahli ibadah itu seraya berkata, “Aku lah temanmu yang tempo lalu telah mengujimu dengan wanita tersebut sehingga ia hamil dan anaknya engkau bunuh. Jika sekarang ini kamu mau patuh padaku dan kafir terhadap Allah Yang menciptakan serta membentukmu, aku akan menyelematkanmu dari kondisimu saat ini.” Maka, si ahli ibadah itupun menjadi kafir kepada Allah. Tatkala ia telah menyatakan kekafirannya, syaithan pun lari dan membiarkan urusannya dengan orang-orang diselesaikan sehingga mereka pun menyalibnya, lalu ia pun dibunuh.
Dan ayat yang berkenaan dengan kejadian ini sebagai permisalan adalah firman-Nya, “(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) syaithan ketika dia berkata kepada manusia, ‘Kafirlah kamu.’ Maka tatkala manusia itu telah kafir, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam. Maka adalah kesudahan keduanya, bahwa sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang yang zhalim.” (Q.s.,al-Hasyr:16-17)
(SUMBER: Mi`ah Qishshah Wa Qishshah, Fii Aniis ash-Shaalihiin Wa Samiir al-Muttaqiin, karya Muhammad Amin al-Jundy, h.20-25)
www.alsofwah.or.id

Cari Blog Ini