welcome to murowi.blogspot.com and try to looking at moerowi.blogspot.com : welcome to murowi.blogspot.com and try to looking at moerowi.blogspot.com : welcome to murowi.blogspot.com and try to looking at moerowi.blogspot.com : welcome to murowi.blogspot.com and try to looking at moerowi.blogspot.com

Jumat, 07 Oktober 2011

Moralitas Tanggung Jawab Siapa?

Ada yang menarik mengenai problem pendidikan di negeri ini. Bagaimana mungkin soal-soal ujian nasional (UNAS) yang akan didistribusikan ke daerah oleh pusat memerlukan pengawalan ketat dari kepolisian. Sebegitu parahkah moral bangsa ini sehingga di lembaga pendidikan saja sepertinya nilai kejujuran sedemikian jarang. Bagaimana mungkin pemberantasan korupsi dapat dilakukan, sedang institusi yang menjadi sumber kejujuran dan budi pekerti demikian rapuh. Ini belum persoalan lain seperti tingginya kriminalitas, pergaulan bebas di kalangan remaja, dan seabrek pelanggaran hukum lainnya. Lantas, siapakah yang sepantasnya diletakkan dalam posisi bersalah dalam persoalan di atas?
Menjawab pertanyaan ini tentu sangat sulit dan setiap pihak yang dituduh dipastikan akan membela diri dengan menyodorkan beberapa pembelaan secara apologik seraya mencari kambing hitam. Lingkaran hitam pun berputar. Orangtua memposisikan guru sebagai pihak bersalah, pihak sekolah menyalahkan orangtua karena tidak mengawasi anaknya saat di rumah, anak tetangga pun dituduh telah mempengaruhi anaknya, hingga media yang dinilai bersalah karena telah meracuni otak sang anak.
Menyangkut krisis moral yang melanda di negeri ini setidaknya kita dapat melihat adanya faktor utama yang kemudian diikuti faktor dan variabel pendukung yang semuanya butuh dikoreksi dan memerlukan pembenahan. Faktor utamanya adalah kegagalan pada sistem pendidikan kita dalam membentuk manusia cerdas, beriman, bertakwa, serta berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia, sesuai dengan yang telah diamanatkan. Kemudian, faktor ini diikuti oleh faktor pemicu berupa lingkungan yang tidak mengajarkan nilai-nilai moral serta minimnya penyaringan informasi dan budaya yang masuk ke Indonesia.
Dengan demikian, kita temukan sebuah jawaban mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas merosotnya moral bangsa ini. Yang paling bertanggung jawab adalah lembaga pendidikan, bukan hanya sistem yang telah dijalankan tetapi semua elemen yang bergerak di dunia pendidikan. Mulai dari guru, Kepala Sekolah, Kepala Dinas, sampai Mendiknas dinilai bertanggung jawab, karena telah gagal mengawal tujuan pendidikan nasional kita.
Sampai saat ini, upaya untuk membentuk budi pekerti yang luhur di sekolah-sekolah bukannya tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, pendidikan moral dan budi pekerti baru bersifat teori dan pengetahuan semata, sebagaimana tertuang dalam pelajaran agama dan PPKn. Belum masuk dalam tataran praktik sehingga pelajaran tersebut tidak betul-betul melekat dalam karakter siswa. Terlebih, standar kelulusan dalam pendidikan moral hanya diukur bagaimana anak dapat menghafal, menganalisis serta mampu menjawab soal ujian,  sedangkan watak dan perilaku anak tidak menandai sebagai keberhasilan proses pembelajaran.
Sistem seperti ini berdampak pada perilaku anak sehingga terjadi kesenjangan antara pengetahuan moral dengan perilaku mereka. Pendidikan moral belum menyentuh pada karakter mereka sehingga tidak membentuk pola pikir dan perilaku mereka menjadi lebih bermoral. Sebab, seseorang dapat disebut sebagai orang yang berkarakter baik apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral, baik dalam ajaran agama atau pun norma masyarakat.
Kemudian, lemahnya proses pendidikan moral ini diperparah oleh lingkungan sekitar yang sepertinya tidak mendukung mereka untuk menjadi orang baik. Penayangan sinetron yang tidak mendidik, penyebaran video porno di beberapa situs-situs internet yang tak terkontrol, hingga kurangnya pengawasan orangtua terhadap anak. Eksploitasi besar-besaran oleh media dengan pemberitaan pejabat korupsi, artis terlibat narkoba, kejahatan seksual, dan pejabat yang mempertontonkan konflik membuat anak-anak kehilangan figur yang semestinya dapat mereka teladani. Akibatnya, masyarakat mulai mengabaikan nilai-nilai norma dan agama, sehingga memicu pertumbuhan krisis moral lebih pesat.
Parahnya, pengaruh teknologi demikian mencengkeram seperti handphone yang memiliki fitur internet atau kamera, hingga membuat anak-anak mudah mengakses gambar porno atau kekerasan. Terlebih dengan menjamurnya warnet-warnet yang tak membatasi akses untuk anak-anak. Kemudian, banyak orangtua yang tak mau tahu urusan anaknya. Mereka memberikan keleluasaan penuh pada anak-anaknya untuk memegang HP. Padahal seberapa pentingkah penggunaan HP oleh anak di usia sekolah?
Justru, dapat membuat anak tumbuh dengan kebebasannya sehingga mempergunakan HP di luar norma dengan menyimpan video porno dan mesum lainnya. Rata-rata kasus kejahatan seksual yang dilakukan oleh anak usia sekolah karena ingin meniru adegan porno yang disimpan di ponsel mereka. Terkadang mereka merekam video mesum yang mereka lakukan sehingga membuat heboh di media massa.
Terlebih lagi, tingkat kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya mulai menurun. Mereka seperti tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh anak-anak di sekitarnya, karena mungkin sibuk dengan urusan masing-masing atau takut pada pembelaan orang tua saat sang anak ditegur.
Inilah yang kemudian mengakibatkan hampir seluruh sendi kehidupan bermasyarakat mengalami penyimpangan karena terkontaminasi oleh cara-cara hidup yang tidak benar di masyarakat yang telah menjadikan penyimpangan sebagai kebiasaan, bukan sebuah kesalahan. Akhirnya, seorang anak lepas kendali sehingga degradasi moral dalam wujud tindakan asusila dianggap lumrah. Tradisi maksiat jadi kebanggaan dan kenakalan remaja dianggap biasa. Mengenai tindakan-tindakan penyimpangan masyarakat kadang ber-apologi dengan mengatakan, “sudah zamannya”.
Dengan demikian, penyelesaian krisis moral ini tidak bisa dilakukan oleh lembaga sekolah saja, tetapi memerlukan gerakan multipihak: pengelola lembaga pendidikan, pemerintah, agamawan, orang tua, dan masyarakat. Semuanya harus bergerak dengan gerakan yang dapat melahirkan persepsi bahwa nilai moral lebih tinggi dari sekedar pengetahuan semata. Menanamkan persepsi seperti ini tentunya harus dimulai dari bangku sekolah yang kemudian diperkuat oleh kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya.
Oleh karena itu, guru dituntut bukan hanya memiliki kompetensi, skill yang tinggi serta kemampuan dan penguasaan terhadap materi ajar, tetapi juga memiliki keunggulan lain dalam bidang penanaman moralitas, mentalitas dan nilai-nilai etika dan budaya. Mampu menanamkan budi pekerti pada anak didiknya dengan tidak hanya mentitiberatkan pada aspek pengetahuan semata, tetapi lebih pada aspek pengamalan melalui tindakan dan aksi yang patut diteladani.
Dalam pelajaran matematika, misalnya, bukan hanya menitikberatkan pada objektifitas angka dalam penjumlahan, tetapi juga diajarkan bagaimana karakter mereka menjadi benar dengan nilai kejujuran. Hingga seorang anak tidak hanya tumbuh dengan pengetahuan yang cerdas, tetapi juga tidak mudah mempermainkan angka yang berujung pada korupsi dan penipuan.
Kemudian, pembenihan di bangku sekolah ini disertai oleh dukungan masyarakat, sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Pemuka agama yang bertugas memberikan bimbingan kepada masyarakat tentang moral dan etika, orang tua mengawasi perilaku anak saat di rumah, dan pemerintah mengeluarkan regulasi yang mengatur perilaku masyarakat yang berpihak pada adat dan tata moral bangsa. Misalnya, dengan membatasi pemakaian HP untuk anak usia dini, semisal sampai tingkat SMA, menyeleksi tayangan televisi yang tidak mendidik.
Insan pers, khususnya televisi, bertugas menyajikan tayangan yang mendidik, tidak sekedar tontonan tetapi sekaligus tuntunan. Bagaimana pun persoalan budaya dan moral adalah segalanya sehingga tidak bisa dikaitkan dengan persoalan bisnis semata. Cerita-cerita yang berisikan pergaulan bebas, tawuran antar gang, kenakalan saat belajar di sekolah, pergaulan bebas dan perselingkuhan, perilaku tidak sopan pada guru dan orang tua, budaya kekerasan dan aniaya, menonjolkan sifat iri dan dengki serta perilaku yang licik adalah tema-tema yang seharusnya tidak ditayangkan karena dapat membius dan menggeser nilai-nilai budaya dan moral bangsa. Upaya guru di sekolah dalam membentuk karakter murid akan runtuh seketika saat anak menontonnya.
Artinya, tugas moralitas ini memerlukan kerjasama antar semua elemen bangsa. Tanpa adanya kerja sama, pendidikan moral dan etika yang diberikan di sekolah akan sulit berhasil. Bagaimana mungkin sebuah bangunan moral berdiri megah dan indah saat orang-orang yang peduli berusaha memperbaikinya sementara yang lain terus membongkarnya!?

Sumber: Buletin SIDOGIRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.

Cari Blog Ini